Konseling Direktif

Nah kalo pada post sebelumnya gw coba menjabarkan tentang Pendekatan Konseling Non-Direktif sekarang gw bakal nyoba untuk jabarin langkah-langkah dalam Konseling Direktif.

Langkah-langkah konseling direktif secara berturut-turut dijelaskan sebgai berikut:
1) Analysis
Langkah ini berarti pengumpulan data, fakta/informasi tentang diri klien dan lingkungannya. Data ini dikumpulkan di berbagai sumber dengan menggunakan alat-alat pengumpulan data yang memadai.
2) Synthesis
Langkah sintesa adalah suatu langkah pemilihan terhadap sumber data, fakta atau informasi yang tersedia sesuai kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi dalam proses konseling. Dalam langkah ini juga dilakukan perangkuman dan penyusunan data, fakta/informasi yang tersedia untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang berbagai kekuatan dan kelemahan yang ada pada klien yang bersangkutan serta kesanggupannya untuk menyesuaikan diri.
3) Diagnosis
Langkah ini berarti suatu bentuk perumusan kesimpulan tentang hakikat serta sebab-sebab yang dihadapi.
4) Prognosis
Langkah ini adalah suatu bentuk peramalan tentang hasil yang dapat dicapai oleh klien dalam kegiatan proses konseling.
5) Treatment
Langkah ini juga disebut langkah pemeliharaan yang merupakan inti daripada pelaksanaan konseling yang meliputi berbagai usaha diantaranya menciptakan hubungan yang baik antar konselor dengan klien, menafsirkan data, memberikan informasi kepada klien dalam melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan.
6) Follow Up
Follow Up/tindak lanjut merupakan suatu langkah penentuan efektif setidaknya suatu usaha konseling yang telah dilaksanakan.

Nah seperti itu kira-kira gambarannya, kalo ada pertanyaan silakan banget loh ya untuk bertanya 😀

Stay tuned, gain benefits! 😀
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2173717-konseling-direktif/#ixzz1w4Wmj2TP

PENDEKATAN KONSELING NON – DIREKTIF

A.      Prinsip-prinsip Konseling Non-Direktif
1.        Pengertian Konseling Non-Direktif
Client-Centered Therapy atau Psikoterapi Non-Direktif adalah suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antaraideal self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).
2.        Ciri-ciri Hubungan Non-Direktif
a.         Menempatkan klien pada kedudukan sentral, klien aktif untuk mengungkapkan dan mencari pemecahan masalah. Jadi, hubungan ini menekankan pada aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri.
b.         Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi, konselor berperan membantu klien dalam merefleksikan sikap dan perasaan-perasaannya.
Ciri-ciri hubungan otoriter:
a.         Klien atau siswa adalah merupakan objek dari subjek yang memegang otoritas (guru, orang tua, atau konselor). Sedangkan siswa/klien harus mengikuti dan taat kepada apa yang digariskan oleh pemegang otoritas.
b.         Pemegang otoritas adalah orang yang paling tahu segala hal, dialah yang menunjukkan, mencarikan atau memberikan jalan pada klien. Jadi, pemegang otoritas adalah berperan sebagai faktor penentu bagi klien.
3.        Dasar Pandangan Non-Direktif tentang Individu
Konseling non-direktif sering pula disebut “client-centered counseling”, yang memberikan suatu gambaran bahwa proses konseling yang menjadi pusatnya adalah klien, dan bukan konselor. Karena itu, dalam proses konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam pemecahan masalahnya.
Konseling non-direktif dikembangkan oleh Carl R. Rogers guru besar dalam Psikologi dan Psikiatri, Universitas Wisconsin, dan dipandang sebagai Bapak Konseling Non-Direktif (client-centered counseling).
a)         Dasar filsafat Rogers mengenai manusia
Dasar filsafat Rogers mengenai manusia berorientasi kepada filosofi humanistic. Dasar filsafat Rogers dimaksud ialah bahwa:
1)        Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan realistik.
2)        Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif, dan dapat dipercaya.
3)        Manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi, berprestasi dan mempertahankan diri.
4)        Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pemilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang bebas dari ancaman.
b)        Pokok-pokok teori Rogers
Ada tiga pokok teori mengenai kepribadian yang di kemukakan oleh Rogers yang mendasari teknik konselingnya. Di antaranya adalah sebagai berikut :
(1)     Organisme
       Organisme yaitu totalitas inividu yanf memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
(a)      Bereaksi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur terhadap medan phenomenal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
(b)     Memiliki motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan dan mengembangkan diri.
(c)      Organisme kemungkinan melambangkan pengalaman-pengalaman, sehingga menjadi disadari atau menolak untuk melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut sehingga tetap tidak disadari, atau kemmungkinan tidak memperdulikan pengalaman tersebut.
(2)     Medan phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari apakah pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan phenomenal hanya dapat mengetahui pengalaman seseorang melalui kesimpulan atas dasar empatik (empatic inference). Kesadaran tercapai kalau pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a)        Pengalaman yang tersimbolisasikan, dan
b)        Pengalaman yang tidak tersimbolisasikan.
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut. Kemungkinan ada bahwa pengalaman tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga mungkin dilaksanakan tindakan yang tak realistis.
(3)     Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal, yang berisi pola pengalaman dari penilaian yang sadar dari subjek. Dari pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola pengamatan dan penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik okrang tersebut sebagai objek. Self ini juga dinamakan juga self-concept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl R. Rogers menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah dilandasi pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata lain pendekatan. Rogers mentitikberatkan kepada kemampuan klien untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang terpenting bagi dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan konselor sedikit sekali. Klien akan mampu menghadapi sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsepdiri (self-concept or self structure) adalah merupakan gambaran seseorang tentang dirinya sendiri. Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi berbagai kemampuan, kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana hubungan dirinya dengan lingkungannya. Jadi, konsep diri adalah bagaimana inividu menyadari dirinya sendiri, dan mengenal dirinya sendiri.
c)         Teori kepribadian Rogers
Rogers memandangmanusia sebagai makhluk sosial, maju terus, rasional, dan realistik. Manusia bukan robot atau mesin, bukan pula kumpulan dan reaksi-reaksi terhadap berbagai respon dan bukan objek. Manusia itu adalah subjek yang utuh, aktif dan unik. Pendapat Carl R. Rogers dirumuskan dalam 19 dalil (Carl R. Rogers Ph.D., Client-Centered Therapy, Houghton-Mifflin Company, Boston 1962, halaman 483-424) disarikan sebagai berikut:
(1)          Tiap inividu ada dalam dua pengalamannya yang selalu berubah-ubah, yang pusatnya adalah dia. Manusia selalu ada dalam dunianya, yang dunia sebagaimana dihayatinya. Maknanya pada inividu bersangkutan. Karena itu sumber informasi yang paling tepat mengenai seseorang adalah orang yang bersangkutan itu sendiri.
(2)          Organisme bereaksi terhadap medan termpat dia ada menurut penghayatannya mengenai medan itu. Medan persepsi itu adalah realistas bagi inividu yang bersangkutan. Sesuatu hal yang secara objektif sama mungkin berarti berbeda bagi inividu lain atau bagi inividu yang sam dalam kondisi yang berlainan.
(3)          Organisme bereaksi terhadap medan phenomenal sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi. Apa yang dilakukan inividu dalam sesuatu keseluruhan, meliputi keseluruhan kepribadiannya.
(4)          Organisasi mempunyai satu kencenderungan, dan dorongan dasar, yaitu mangaktualisasikan, mempertahankan, dan meningkatkan organisme yang menghayati. Pada diri inividu terdapat dorongan untuk maju dan dorongan untuk mengejar perkembangan yang lebih lanjut dan meningkat, yang pada akhirnya mencapai aktualisasi dir, yaitu pribadi yang dalam taraf optimal.
(5)          Perilaku pada dasarnya adalah terarah kepada tujuan, yang dilakukan oleh inividu untuk memuaskan kebutuhannya sebagaimana dihayatinya dalam dunianya, yaitu dunia menurut penghayatannya.
(6)          Emosi menyertai dan pada umumnya menunjang perilaku yang terarah pada tujuan itu. Emosi ada sebagai dari reaksi total organisme terhadap phenomenalnya. Dengan artilain dapat dikatakan bahwa kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil oleh inividu adalah sesuai dengan konsep dirinya (self-concept). Sehingga cara yang terbaik untuk mengubah perilaku adalah dengan terlebih dahulu mengubah konsep mengenai dirinya.
(7)          Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku inividu adalah kerangka acuan yang ada dalam diri inividu yang bersangkutan. Dengan arti lain bahwa untuk memahami perilaku inividu ialah dengan cara memahami kerangka oreantsinya (bagaimana inividu memandang dunia sekitarnya)
(8)          Suatu bagian dari medan penghidupan secara keseluruhan secara berangsur-angsur terdefinisikan menjadi diri atau self.
(9)          Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, terutama sebagai hasil dari interaksi evaluasi dengan orang-orang lain, terbentuklah “diri” itu, yaitu suatu konsep pola kehidupan aku yang kenyal dan konsisten, yang padanya terletak pola sistem nilai. Atau dengan kata lain “konsep diri” itu terbentuk karena inividu berinteraksi dengan lingkungan.
(10)      Nilai-nilai yang terletak pada pengalaman, dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur diri, adalah nilai-nilai yang dihayati langsung oleh inividu atau yang diintrojeksikan dari penghayatan orang lain, tetapi yang telah diwarnai oleh makna yang diberikan oleh inividu yang bersangkutan. Jadi, nilai-nilai yang membentuk konsep diri itu diperoleh inividu secara langusng atau dari orang lain.
(11)      Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang itu ditangkap oleh orang yang bersangkutan dalam tiga cara, yaitu :
(a)           Dilambangkan, dihayati, dan diorganisasikan ke dalam hubungan tertentu dengan diri,
(b)          Diabaikan karena tidak ada terlihat hubungan dengan struktur diri, atau
(c)           Ditolak atau dilambangkan dengan perubahan karena hal yang dihadapi itu tidak konsisten dengan struktur diri.
Jadi, pengalaman yang diperoleh inividu, mungkin akan diterima dan dihubungkan dengan konsep diri, mungkin pula ditolak, dibuang, atau disingkirkan karena tidak cocok dengan konsep diri.
(12)      Kebanyakan cara-cara berperilaku yang dijalankan oleh inividu adalah perilaku yang konsisten dengan konsep diri. Perilaku seseorang itu sejalan dengan konsep tentang dirinya.
(13)      Dalam beberapa hal perilaku mungkin ditimbulkan oleh pengalaman organik atau kebutuhan yang belum dilambangkan. Perilaku yang demikian itu tidak konsisten dengan struktur diri, tetapi yang demikian itu sebenarnya perilaku menjadi “bagian” dari inividu yang bersangkutan atau perilaku itu dapat berasal dari  pengalaman dan dapat pula berasal dari kebutuhan yang belum diketahui.
(14)      Penyesuaian  psikologis yang tidak baik terjadi bilamana organisme menolak menyadari pengalaman-pengalaman dan viseral yang penting, yang karenanya dilambangkan dan diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang demikian ini berlangsung, maka akan terjadi ketegangan psikologis. Ganguan psikologis (mental) terjadi apabila inividu menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya.
(15)      Penyesuainan psikologis yang baik terjadi apabila diri itu memungkinkan semua pengalaman sensoris dan viseral organisme dapat diasimilasikan dengan simbolik kedalam relasasi yang konsisten dengan konsep diri.
(16)      Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan organissasi atau struktur diri mungkin diamati sebagai ancaman, dan semakin banyak struktur pengalaman yang demikian kukuhlah diri itu diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
(17)      Pada kondisi-kondisi tertentu, bila sama sekali tidak menimbulkan ancaman terhadap struktur diri, maka pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin diamati, diuji, dan struktur diri direvis agar dapat mengasimilasi dan mencakup pengalaman-pengalaman yang demikian itu. Dengan demikian, dapat dikatakan apabila pengalaman baru itu tidak menimbulkan ancaman, maka pengalaman ini akan diterima dan dapat merubah atau memperbaiki konsep diri.
(18)      Apabila inividu mengamati dan menerima semua pengalamannya yang sensoris dan viseral kedalam suatu integral, maka ia akan dapat lebih memahami dan menerima orang lain. Dengan arti  kata lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa apabila pengalaman sosial diterima dan membentuk konsep diri, kemudian inividu dapat memahami inividu lainnya, maka ia pun akan lebih diterima oleh lingkungannya.
(19)      Apabila inividu mengamati dan menerima lebih banyak pengalaman organismenya, maka ia akan menyadari bahwa ia sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang sekarang dengan baru, dengan suati proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar pengembangan konseling non-direktif dan usaha-usaha lain yang bertujuan membantu inividu untuk mengembangkan apa  yang telah ada pada dirinya. Dengan memahami teori ini, maka akan dipahami pula hubungan dunia kehidupan – pengalaman-konsep diri – penerimaan lingkungan – kondisi sehat mental.
4.        Karakteristik Konseling Non-direktif
Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam hubungan konseling adalah merupakan karakterisisik utama dari konseling non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif, masing-masing menekankan pada:
(a)      Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman tentang dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk memperoleh pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu haruslan diberikan suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diamati dan dialami inividu (Carl R. Rogers). Jadi, klien didorong untuk menentukan pilihan dan keputusan serta tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah di ambilnya
(b)      Pengalaman-pengalaman sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada pengalaman masa lalu, tetapi menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk mengungkapkan pengalaman dan permasalahannya yang dihadapi sekarang ini (saat ini), konselor mendorong klien untuk mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak berpura-pura), dan permisif.
(c)      Konseling non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau pendekatan yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi merupakan suatu pola kehidupan yang berisikan penukaran pengalaman, dimana konselor dan klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan berpartisipasi dalam menemukan berbagai pengalaman baru.
(d)     Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien. Konselor berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien sendiri, apakah itu berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia luar.
(e)      Tujuan konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan oleh konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada kedudukan sentral, sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap dan menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi, tujuan konseling dengan sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu sendiri.
5.        Fungsi Konselor dalam Konseling Non-Direktif.
            Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
(a)      Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien. Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara nonverbal.
(b)      Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahab yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.
(c)      Mendorong kemampuan memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.
6.      Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang Konselor Non-Direktif.
            Beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan sikap agar dapat melaksanakan hubungan konseling non-direktif, diantaranya adalah sebagai berikut :
(a)                Kemampuan berempati.
Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat merasakan orang lain (klien). Empati ini akan lebih lengkap dan sempurna apabila diiringi oleh pengertian dan penerimaan konselor tentang apa yang dipikirkan oleh klien. Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan kuat lemahnya empati itu sangat bergantung pada saling pengertian dan penerimaan terhadap suasana yang diutarakan oleh klien. Empati yang dalam, dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh klien itu sendiri
(b)               Kemampuan menerima klien.
Kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien sebagaimana adanya adalah memegang peran penting dalam hubungan konseling. Dasar dari kemampuan ini adalah penghargaan terhadap orang lain (dalam diri kllien) sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam menerima klien ini ada dua unsur yang perlu diingat ialah :
a)      Konselor berkehenda untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor dengan klien
b)      Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui oleh klien ada usaha yang penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung bersangkut paut dengan kemampuan konselor untuk tidak memberikan penilaian tertentu terhadap klien.
(c)                Kemampuan untuk menghargai klien.
Seorang konselor non-direktif harus menghargai pribadi klien tanpa syarat apapun. Apabila rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka timbullah rasa percaya bahwa dirinya mempunyai harga sebagai individu (tidak dipandang rendah/tidak berarti), maka klien akan berani mengemukakan segala masalahnya, maka timbul pula keinginan bahwa dirinya berharga untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Konselor harus dapat menerima klien sebagaimana adanya. Dengan sikap dan kemampuan yang dimiliki konselor untuk menghargai klien tanpa syarat, serta menerima klien apa adanya secara langsung akan membina hubungan yang akrab penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan kliennya.
(d)               Kemampuan untuk memperhatikan.
Kemampuan memperhatikan menuntut keterlibatan sepenuhnya dari konselor terhadap segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien. Kemampuan ini memerlukan keterampilan dalam mendengarkan dan mengamati untuk dapat mengetahui dan mengerti inti dari isi dan suasana perasaan bagaimana yang diungkapkan klien. Melalui mendengarkan dan mengamati itu konselor tidak hanya menangkap dan mengerti apa yang dikemukakan oleh klien, tetapi juga bagaimana klien menyampaikan hal itu. Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, klien menginginkan perhatian penuh terhadap apa yang diungkapkan oleh klien, baik melalui kata-kata (verbal) maupun isyarat (non-verbal).
(e)                Kemampuan membina keakraban.
Keakraban merupakan syarat yang sangat penting demi terbinanya hubungan yang nyaman dan serasi antara konselor dan klien. Keakraban ini akan tumbuh terus-menerus dan terbina dengan baik apabila konselor benar-benar menaruh perhatian dan menerima klien dengan permisif. Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak semu dan palsu) ini sebenarnya tidak dipaksakan, direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya menaruh perhatian dan menerima klien, maka wujud perhatian itu tidak akan wajar, ketidakwajaran itu sendiri akan mewarnai hubungan tersebut. Keakraban yang murni dan wajar diwarnai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan perasaan secara tulus dan tanpa pamrih. Keakraban itu adalah lebih dalam dari hanya sekadar ucapan salam atau mengenakkan hati klien. Lebih jauh dari itu keakraban itu merupakan keastuan suasana hubungan yang ditandai oleh rasa saling percaya mempercayai, kerjasama, kesungguhan, ketulusan hati, dan perhatian.
(f)                Sifat keaslian (gunuin)
Seorang konselor non-direktif harus memperlihatkan sifat keaslian dan tidak berpura-pura. Kepura-puraan dalam hubungan konseling menyebabkan klien menutup diri. Jadi, proses konseling non-direktif mengharapkan keterbukaan dari klien. Klien akan terbuka apabila konselor dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
(g)               Sikap terbuka
Konselin non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan dari klien baik untuk mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima pengalaman-pengalaman. Keterbukaan dari klien akan terwujud apabila ada keterbukaan dari konselor pula.
B.     Proses Konseling Non-Direktif
1.                  Ilustrasi Kasus
2.                  Tujuan
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan Konseling Non-Direktif adalah untuk membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga ia mampu menjadi manusia yang berguna. Dimana tujuan dasar Konseling Non-Direktif secara rinci adalah sebagai berikut:
1.    Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
2.    Menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk mengambil satu atau serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
3.    Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
4.    Memberikan kesadaran diri pada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup social budaya yang luas, dimana ia masih memiliki keunikan tersendiri.
5.    Menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya terus bertumbuh dan berkembang (process of becoming).
6.                  Ciri-ciri Proses
Adapun ciri-ciri dalam pendekatan Konseling Non-Direktif, yaitu:
1.    Klien berperan lebih dominan daripada konselor. Dimana  konselor hanya sebagai fasilitator atau cermin.
2.    Keputusan akhir tetap berada ditangan klien, sedangkan konselor berperan dalam mengarahkan klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri atas masalah yang dihadapinya.
3.    Dalam proses Konseling Non-Direktif menekankan pada pentingnya hubungan yang bersifat permisif, intim sebgai persyaratan mutlak bagi berhasilnya hubungan konseling. Komunikasi antara konselor dan klien akan lebih mudah apabila berbentuk keakraban (raport), karena keakraban adalah dasar membentuk kepercayaan antara klien dan konselor. Dimana konselor harus memberikan keleluasaan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya dan pada saat yang bersamaan konselor memisahkan semua informasi yang relevan dengan tujuan dari konseling,
4.    Konselor harus benar-benar menerima klien apa adanya dan sebelum memberikan bantuan konselor harus menghadapi klien dengan tulus sebagai individu yang berpotensi untuk mengambil keputusan sendiri atas permasalahannya.
5.    Proses konseling tidak bisa ditentukan oleh konselor. Sehingga lebih cepat klien mengungkapkan masalahnya, maka secepat itu pula konselor dapat mengarahkan klien dalam menyelesaikan masalahnya.
6.    Empati menduduki tempat terpenting. Karena dengan empati konselor dapat mengerti dan merasakan perasaan klien seutuhnya.
7.                  Langkah-langkah
Adapun menurut Carl R. Rogers, ada dua belas langkah yang dapat digunakan sebagai  pedoman dalam melaksanakan konseling Non-Direktif. Namun kedua belas langkah yang dikemukan itu bukanlah langkah yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah dimaksud adalah sebagai berikut:
1.    Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk seseorang, maka konselor harus mampu menciptakan suasana permisif, santai, penuh keakraban dan kehangatan, serta terbuka, sehingga klien dapat menetukan sikap dalam pemecahan masalahnya.
2.    Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan untuk klien , klien didorong untuk menerima tanggung jawab untuk melaksanakan pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa dilakukan apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk mampu membantu dirinya sendiri.
3.    Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya secara bebas, berkaitan dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh keakraban, kehangatan, terbuka, serta terhindar dari ketegangan-ketegangan, memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga dirasakan meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
4.    Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien yang sifatnya negative dengan memberikan respons yang tulus dan menjernihkan kembali perasaan negative dari klien.
5.    Setelah perasaan negative dari klien terungkapkan,maka secara psikologis bebannya mulai berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan memungkinkan klien untuk bertumbuh dan berkembang.
6.    Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
7.    Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul perkembangan  terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya, dan pemahaman (understanding)serta penerimaan diri tersebut.
8.    Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya dan menerimanya, maka klien mulai membuat keputusan untuk melangkah memikirkan tindakan selanjutnya. Artinya bersamaan dengan timbulnya pemahaman, muncul proses verfikasi untuk mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan diambil.
9.                  Dasar Pertimbangan Penggunaan
Pertimbangan yang menjadi pendorong digunakannya konseling Non-Direktif didasarkan pada :
1.    Sifat Klien
Dalam proses konseling diharapkan konselor mampu memahami sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada hakikatnya klien sebagai individu memiliki keunikan tersendiri.  Dimana Konseling Non-Direktif sebagai suatu pendekatan memberikan keleluasaan pada klien yang memiliki sifat-sifat: agresif, terbuka, terus terang, serta mampu mengungkapkan masalahnya secara terus terang, bebas, dan lancar.
2.    Sifat Konselor
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor dalam Konseling Non-Direktif, yaitu:
1.                  Kemampuan dan kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik. Disamping itu juga bersedian untuk menyimak, mengkaji, dan menangkap apa yang diungkapkan oleh klien.
2.                  Kemampuan menciptakan hubungan keakraban(raport). Karena  hal ini merupakan dasar dalam membentuk kepercayaan dan pengertian antara konselor dan klien.
3.                  Kesediaan konselor untuk meluangkan waktu yang cukup banyak, karena Konseling Non-Direktif berpotensi untuk memakan waktu yang lama.
4.    Sifat Masalah
Dalam Konseling  Non-Direktif pada dasarny dapat digunakan pada setiap masalah yang dihadapi klien. Tetapi konseling ini lebih tepat digunakan untuk masalah-masalah yang bersifat konflik psikologis. Konflik psikologis yang dimaksudkan adalah yang terkait dengan ketegangan-ketegangan psikologis, sebagai akibat tertekannya individu oleh lingkungan maupun dirinya sendiri.
5.                  Kelemahan dan Kelebihan
1.    Kelemahan
Penggunaan pendekatan konseling Non-Direktif memiliki beberapa keterbatasan:
1.                  Cara Pendekatan yang berpusat pada klien sedangkan waktu yang tersedia terbatas. Sehingga bila konselor tidak mampu mengatur arah pembicaraan, maka akan menyita banyak waktu dalam wawancara.
2.                  Keterbatasan kemampuan dan keberanian klien dalam menyampaikan permasalahannya secara verbal.
3.                  Kesukaran klien dalam memahami kesukarannya sendiri
4.                  Pendekatannya menuntut kedewasaan klien dalam bersikap untuk memahami dirinya dan memecahkan masalahnya sendiri.
5.                  Keterbatasan konselor dalam menghadapi masalah klinis akibat konselor belum terlatih dalam masalah psikologis.
6.    Kelebihan
Pendekatan konseling Non-Direktif biasanya banyak membantu dalam proses konseling, terutama bila :
1.                  Klien dalam kondisi emosional yang labil sehingga sulit berpikir logis
2.                  Konselor memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam menangkap emosi yang ditonjolkan klien dan merefleksikan kembali ke klien dalam bahasa dan tindakan yang sesuai.
3.                  Klien mampu merefleksikan dirinya baik itu perasaan maupun pikirannya melalui penyampaian secara verbal.
4.                  Pendekatan ini sangat cocok dipergunakan sebab masalah klien tetap menjadi tanggung jawab klien, sekalipun konselor memberikan beberapa bantuan berupa pertanyaan penggali (probbing), namun penekanan tetap berpusat pada kemampuan refleksi diri klien terhadap masalahnya.
Stay tuned, gain benefits! 😀

Catharsis in Psychology and Beyond: A Historic Overview

ABSTRACT

Catharsis has been recognized as a healing, cleansing, and transforming experience throughout history, and has been used in cultural healing practices, literature, drama, religion, medicine, and psychology. Some contemporary modalities such as Psychodrama, Primal therapy, Emotion – Focused therapy, to mention a few, use catharsis as their core technique to achieve positive therapeutic change. Modern research on the subject is limited and presents contradicting data about the effectiveness of cathartic techniques in psychotherapy practice.

Defining catharsis

The word catharsis is derived from the Greek word which is translated as ‘cleansing’ or ‘purification’. Most of the definitions emphasize two essential components of catharsis: the emotional aspect (strong emotional expression and processing) and the cognitive aspect of catharsis (insight, new realization, and the unconscious becoming consciousness) and as a result – positive change. Aristotle defined catharsis as “purging of the spirit of morbid and base ideas or emotions by witnessing the playing out of such emotions or ideas on stage” (Aristotle, 2001, p. 1458). Breuer and Freud described catharsis as an involuntary, instinctive body process, for example crying (Breuer & Freud, 1974). Schultz and Schultz (2004) followed the psychodynamic tradition and defined catharsis as “the process of reducing or eliminating a complex by recalling it to conscious awareness and allowing it to be expressed” (p.506). The American Psychological Association (2007) also associates catharsis with the psychodynamic theory and defines it as “the discharge of affects connected to traumatic events that had previously been repressed by bringing these events back into consciousness and reexperiencing them” (p. 153).

Scheff (2001) emphasized both essential components of catharsis: emotional-somatic discharge and cognitive awareness which he called ‘distancing’, when the person experiencing catharsis is maintaining the ‘observer’ role rather than the participant, which involves a sense of control and full alertness in person’s immediate environment. Scheff indicated that it is most common that towards the end of somatic-emotional discharge the detailed, vivid recalling of forgotten events and insights often occur. There is a certain amount of confusion and misunderstanding about the definition and interpretation of catharsis: some of the researchers perceive catharsis as emotional discharge, equating it with the behavior of expressing strong emotions, some emphasize the cognitive aspect and the new awareness that emerges after reliving traumatic events from the past.

The historic roots of catharsis

The healing effect of catharsis has been portrayed in literature, theater, religion, cultural rituals, medicine, and psychology. Although it takes different shapes, the essence of catharsis remains the same: it is a release from some burden (either physical or mental) and furthers healing through its cleansing effect.

Aristotle’s understanding of catharsis

Aristotle used the concept of catharsis in both the medical and psychological sense. In Aristotle’s “Poetics”, it meant the emotional release and cleansing that spectators experience during and after watching a tragedy, which has a corrective and healing effect (Aristotle, 2001). Aristotle also underlined the cathartic influence of music on people. In “Politics” he said: “All experience a certain purge [catharsis] and pleasant relief…cathartic melodies give innocent joy to men” (Aristotle, 2001, p. 1131).

According to Aristotle, experiencing catharsis had moral and ethical implications. He believed that catharsis helped to moderate passions and strong emotions, therefore restoring the balance in one’s heart. Pleasure of sharing and reliving catharsis provided relief from disturbances such as pity and fear. According to Aristotle, emotional discharge while watching a tragedy helped to restore harmony and produced a wise and reasonable man.

Catharsis in literature and the theater

Different techniques have been used to provoke strong emotional expressions in the readers or spectators. The effect of surprise and unexpectedness could be used as the key factor that leads to catharsis. For example, in the Greek tragedy “Oedipus Rex”, catharsis occurs at the end when king Oedipus, driven by the guilt of impermissibility of incest and the emptiness caused by the loss of his beloved mother, blinds himself.

Catharsis can even have meaning that is more extensive. For instance, Bertold Brecht, the great German playwright and director of the twentieth century, considered it as a tool for a greater social change. Brecht used absence of consistent action to provoke a feeling of emptiness, build tension, and lead the audience to catharsis, which would make the audience undertake social and political action in order to escape from that feeling of emotional emptiness inside (Szczeklik, 2005).

Scheff (2001) indicated that humans seek and enjoy activities that help them to symbolically relive their own painful emotional experiences, and therefore achieve relief or resolution. For example, crying about Romeo and Juliet is nothing more than reawakening feelings of loss in the viewers’ lives and reliving unfinished personal experiences. Scheff emphasized the fact that literature and theater provide safe ‘distancing’ from peoples’ own experience. When personal distress is reawakened in a socially appropriate environment, such as theater, emotional experiences are not too overwhelming, because people are under the impression that they cry about the play character, but not about themselves.

Catharsis in medicine, religion, and cultural rituals

The idea of catharsis in medicine is similar to that in literature. It means ‘purging’, ‘purification’, although in a medical sense this implies a physical release, for example, expectoration of the sputa implies healing of cold. It was not until Hippocrates, that menstruation, diarrhea, and vomiting were regarded as cathartic processes (Scheff, 2001). Hippocrates associated catharsis with healing, because it’s role of a “purification agent” affecting the course of disease (both physical and mental). The spiritual meaning of catharsis is very much the same: discharging everything harmful from one’s mind and heart, so that one can become pure. The ritual of purification usually implies that a person had engaged in some prohibited actions or sins. Catharsis helped to return to the previous status – before the violation of generally accepted rules and norms. In various religious practices, the action of purification is fulfilled with the help of water, blood, fire, change of clothes, and sacrifice. The rituals are often considered as part of a person’s healing from the devastating effect of guilt.

Further, the key mission of mysticism is to understand the return or unification of one’s soul with God. The ritual of baptism (purifying person with water) in Christianity has cathartic meaning of revival. Confession has the same underlying assumption, and it is similar to the concept of cathartic treatment introduced by Freud and Breuer, because confession involves the recall, revealing, and release of forbidden thoughts, actions, and repressed emotions.

Spiritual and cultural rituals have been known throughout the history to help people process collective stress situations, such as death or separation, or major life changing events like rites of passages, weddings, and such. Traditional societies have ceremonies of mourning, funeral rites, and curing rituals, which most often include cathartic activities, such as crying, weeping, drumming, or ecstatic dance (Szczeklik, 2005).

Similarly, modern forms of mass entertainment can provoke massive cathartic experiences, for example, movies like the “Passion of the Christ” directed by Mel Gibson, attracted mass audiences and became the socially acceptable way for collective crying. Another good example is the popularity of horror movies because they evoke intense fear emotions. It is apparent that collective forms of emotional reexperiencing and discharge in social, cultural, spiritual, or athletic events are highly popular, attract massive audiences and are known to provide relief and increase group cohesiveness and solidarity.

Catharsis in modern psychology

Breuer and Freud

According to Schultz and Schultz (2004), the idea of catharsis was popular in scientific circles in Germany in the 1890s and there were numerous articles published on the subject. Freud and Breuer officially brought the ‘cathartic therapy’ as therapeutic method into modern psychology (Brill, 1995). They used hypnosis to recover repressed memories of negative traumatic events. The Breuer and Freud theory that symptoms are caused by repressed emotions is based on the observation that: “each individual hysterical symptom immediately and permanently disappeared when we had succeeded in bringing clearly to light the memory of the event by which it was provoked and in arousing its accompanying affect” (Freud, 1893, p. 6). In his later work, Freud was not completely satisfied with the results of catharsis; he rejected the hypnotic and cathartic component of therapy, and focused more on the insight aspect and developed psychoanalysis (Breuer & Freud, 1974).

The hydraulic model of emotions and venting theory

The hydraulic model of emotions uses the analogy of the fluid flowing through a system. Emotional distress, if not expressed, gets stored and can create pressure in the system, therefore ‘venting’ emotions should decrease tension and consequentially the negative psychological experience and symptoms. The greater the expression of negative emotions, the greater the relief should be (American Psychological Association, 2007).

Scheff (2001) shared similar views that emotional expression is a natural human necessity and discussed this issue from the evolutionary point of view. He claimed that emotion is not a cultural phenomenon, rather it is a natural body reaction and a way of dealing with hurtful experiences: “…emotional expressions such as crying are biological necessities. Crying itself is instinctual: the baby comes out of the womb with the ability to cry. This ability is unlearned. What is learned is the ability to suppress crying” (Scheff, p. 10). Scheff argued that suppressing emotions has important negative impact on individuals and societies. As part of the socialization process, children are taught, very often with punishment, how to control emotional reactions and suppress the instinctual need for discharge. Scheff stated that most people “accumulate massive amounts of repressed emotion, bodily tension which is always present but usually not recognized” (Scheff, p. 49). Scheff concluded that suppressed emotions interfere with thought and perception processes, with a person’s ability to respond to others and to cooperate, and with the ability to tolerate strong emotions in others.

Many mental health professionals support the hydraulic model. In contrast, some of the recent researchers challenged the traditionally accepted views that ‘venting’ negative emotions actually reduced them and supported the view that the release of emotion by itself without a cognitive change is not enough to produce a positive outcome in psychotherapy (Bohart, 1980; Kennedy-Moore and Watson, 1999; Nichols,1985; Rachman, 2001).

Catharsis-based treatment approaches

Since Freud introduced catharsis into the professional psychology field, many contemporary modalities consider catharsis a significant curative aspect of their therapeutic approach (Frank, 1971). In this section, I will overview how some of these modalities, such as Psychodrama, Primal Therapy, and Emotion-Focused Therapy use catharsis.

Use of catharsis in Psychodrama

With the growth of behaviorism, the role of catharsis as a beneficial psychological technique was underestimated until Moreno introduced Psychodrama in the1930s. Moreno used the concept of catharsis as Aristotle and Freud suggested it and developed it into a new psychotherapeutic modality. Reenacting scenes from one’s past, dreams, or fantasies helps the client bring the unconscious conflicts into consciousness, eventually experience catharsis, and thus achieve relief and positive change (Moreno, 1946).

According to Moreno, catharsis helps to reunite the separated (unconscious) parts of the psyche and the conscious self (Kipper, 1997). Although there are a lot of ways how unconscious may be expressed, for instance, delusions, forgetting, and dreams (Corsini, 2000), such expression is mild, and does not allow the release – it is rather an indication that the problem exists. Therefore, catharsis was successfully used in psychodrama to reveal deep and long-standing negative emotions and neutralize the negative impact of related traumatic experiences (Kipper, 1997).

Use of catharsis in Primal therapy

In the early 1970s, Janov (2007) elaborated on Freud’s ideas and claimed that if infants and children are not able to process painful experiences fully (cry, sob, wail, scream, etc.,) in a supported environment, their consciousness ‘splits’, pain gets suppressed to the unconscious and reappears in neurotic symptoms and disorders in later life. Painful experiences become ‘stored’ and need to be ‘released’ in therapy by reliving and discharging suppressed feelings. Janov claimed that cathartic emotional processing of painful early life experiences and the process of connecting them with the memory of the original event could fully free clients from neurotic symptoms. Janov argued that cognitive remembering of suppressed traumatic experiences is not enough for healing to occur.

As it was practiced in the early 1970s, Primal therapy seemed to be focused on emotional discharge without appropriate safety and distancing. Therefore, it appeared to be damaging for some clients, especially for those with severe mental illness, personality disorders, or other more severe conditions when, for instance client’s ego strength is not sufficient to process strong feelings, which might lead to disintegration, or if client already experiences confusion between present and past realities. Therefore, Primal therapy was perceived as dangerous and rejected by the majority of mental health professionals.

Use of catharsis in Emotion-Focused Therapy

Greenberg (2002) concluded that emotional arousal and processing within a supportive therapeutic relationship is the core element for positive change in therapy. He emphasized the cognitive aspect of catharsis and the need to understand and make sense of emotions. Greenberg argued that awareness, healthy emotional expression, and cognitive integration of emotions combined produce positive change. It appears that Emotion-Focused therapy appropriately addressed the cognitive component of catharsis and safety issues. Emotion-Focused therapy developed techniques to help clients recognize and validate their strong feelings, and coached and supported clients to express hurtful emotions safely, as well as, to find meaning for their experiences. Emotion-Focused therapy employs empty chair technique, introduced by gestalt therapy, for clarification of inner conflicts, as well as for finishing unresolved relationship issues from the past. Greenberg, Warwar, and Malcolm (2008) proved that Emotion-Focused therapy using empty chair technique was more effective than psychoeducation in facilitating forgiveness and ‘letting go’ for individuals who had painful emotional experiences with their significant others. Empty chair technique can be a useful a tool to facilitate catharsis, as well as to help clients to increase distance from their inner conflicts and overwhelming emotions, for example by asking them to sit in a third chair and assume the role of an observer or mediator.

Controversy about the effectiveness of catharsis in psychotherapy

Even though, traditionally, catharsis has been perceived as a healing experience, current research presents contradicting data about that assumption. Nichols (1974) evaluated the impact of catharsis on the positive outcome of brief psychotherapy and validated the hypothesis that catharsis leads to therapeutic improvement of behavioral target complaints and personal satisfaction. Pascual-Leone and Greenberg (2007) presented some evidence that processing emotions in therapy is a significant step towards positive change. Watson and Bedard (2006) found that clients with major depression who showed higher levels of emotional processing, had better outcomes. Other researchers challenged traditional views about the value of catharsis in therapy. Bushman (2002) claimed that ‘venting anger’ does not help to reduce anger and shouldn’t be used in therapy. Jemmer (2006) argued that traumatic experience, if repeatedly relived in catharsis, can be relearned and become harmful. Bohart (1980) demonstrated that expression of anger does not produce the relief or anger reduction. It appears that some of the conclusion about ineffectiveness of ‘venting anger’ are generalized to all cathartic experiences (Kennedy-Moore & Watson 1999), therefore catharsis based therapeutic techniques are claimed to be ineffective. The question is how reasonable is this generalization and how the research on the ineffectiveness of ‘venting anger’ can be applied to the cathartic techniques in general?

This question brings back the issue of defining catharsis as both emotional and cognitive experience. Scheff (2001) raised an extremely important point that effectiveness of catharsis in therapy strongly depends on balancing the past distress and feeling of safety and support in the present, in other words achieving a client’s optimum ‘distancing’ from the traumatic event, by being an ‘observer’ as well as the participant. Scheff argued that in cases of major repressed traumatic events verbal recall alone is not sufficient for a permanent positive therapeutic change. The repeated somatic-emotional discharge of grief, fear, and anger with appropriate distancing and support are necessary components for success.

In conclusion, the effective use of catharsis in psychotherapy should not be confused with isolated emotional discharge techniques, such as venting anger. Catharsis refers to the re-experiencing (partially or fully) of significant traumatic events, that have not been adequately emotionally processed and are repressed, causing emotional, physical, or relationship problems in the person’s life. During the process of therapy, a client remembers and relives these significant personal events, experiences strong emotional reactions, as well as appropriate cognitive processing and integration. The effectiveness of cathartic techniques should be researched and interpreted within the context of other important components of a therapeutic process, such as safe and trusting relationship between client and therapist, building a client’s ego strength, creating a safe and supportive environment in the client’s present life (making behavioral changes), finding meaning of the past experiences, and others.

Summary and Conclusions

Throughout the history of humanity, catharsis was considered to have a strong healing effect and was applied in medicine, religion, cultural healing rituals, literature, and drama. The concept of catharsis has been widely used in modern psychology, starting with Breuer and Freud. Some modern therapeutic modalities emphasize the value of expression of repressed emotions and use catharsis as the essential tool for the positive therapeutic change. While the supporters of cognitive-behavioral approaches dominate the field of psychology, most of the contemporary schools underestimate the importance of catharsis. They consider affect regulation as the primary goal, therefore leaving full emotional release in the periphery or often perceiving it as a negative direction.

The existing scientific evidence about catharsis resulting in a positive therapeutic change is controversial. The confusion occurs because of a lack of careful definition and agreement as to what constitutes catharsis. The research that ‘venting anger’ doesn’t automatically reduces anger demonstrated that aggressive behavior actually increased arousal levels and didn’t produce desired positive change, but its relevance to the phenomenon of catharsis is very limited if any. The complexity of phenomenon of catharsis involves experiencing repressed emotional traumas within safe and supportive environment, involving emotional discharge, as well as appropriate cognitive processing and insight.

Stay tuned, gain benefits! 😀

References

  • American Psychological association. (2007). Dictionary of Psychology. Washington, DC: Author.
  • Aristotle. (2001). The basic works of Aristotle. McKeon, R. (Ed.). New York: Modern Library.
  • Bohart, A.C. (1980). Toward a cognitive theory of catharsis. Psychotherapy: Theory Research & Practice, 17, 192-201.
  • Breuer, J., Freud, S. (1974). Studies on hysteria. Harmondsworth: Penguin Books.
  • Brill, A.A. (Ed.). (1995). The basic writings of Sigmund Freud. New York: The Modern Library.
  • Bushman, B.J. (2002). Does venting anger feed or extinguish the flame?
  • Catharsis, rumination, distraction, anger and aggressive responding. Personality & social Psychology Bulletin, 28(6), 724-731.
  • Corsini, R. (2000). Handbook of Innovative Psychotherapies. NY: Wiley/Interscience.
  • Frank, J. D. (1971). Therapeutic factors in psychotherapy. Journal of Psychotherapy, 25, 350- 361.
  • Freud, S. (1893). Standard edition of the complete psychological works of Sigmund Freud, Vol. 2. Strachey, J. (Ed.). London: Hogarth Press.
  • Greenberg, L. S. (2002). Emotion-focused therapy. Washington, DC: American Psychological Association.
  • Greenberg, L. J., Warwar, S. H., Malcolm, W. M. (2008). Differential effects of emotion-focused therapy and psychoeducation in facilitating forgiveness and letting go of emotional injuries. Journal of Counseling Psychology, 55(2), 185-196.
  • Janov, A. (1991). The new primal scream: Primal Therapy 20 Years On. Blair, NE :Enterprise Publishing.
  • Janov, A. (2007). Primal Healing. Franklin Lakes, NJ: Career Press.
  • Jemmer, P. (2006). Abreaction – catharsis: Stirring dull roots with spring rain. European Journal of Clinical Hypnosis, 7(1), 26-36.
  • Kennedy-Moore, E., Watson, J.C. (1999). Expressing emotion. New York: Guildford Press.
  • Kipper, D.A. (1997). Classical and contemporary psychodrama: A multifaceted action oriented psychotherapy. International Journal of Action Methods, 50(3), 99-107.
  • Moreno, J. L. (1946). Psychodrama: Vol 1. Beacon, NY: Beacon House. Nichols, M. P. (1974). Outcome of brief cathartic psychotherapy. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 42(3), 403-410.
  • Nichols, M.P., Efran, J.S. (1985). Catharsis in psychotherapy: a new perspective. Psychotherapy, 22, 46-58.
  • Pascual-Leone, A., Greenberg, L. S. (2007). Emotional processing in experiential therapy: Why ‘the only way out is through.’ Journal of Consulting and Clinical Psychology, 75(6), 875-887.
  • Rachman, S. (2001). Emotional processing, with special reference to post-traumatic stress disorders. International Review of Psychiatry,13,164-171.
  • Scheff, T.J. (2001). Catharsis in healing, ritual, and drama. Lincoln, NE: iUniverse.com.
  • Schultz, D. P., Schultz, S. E. (2004). A history of modern psychology (8th ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Thompson.
  • Szczeklik, A. (2005). Catharsis: On the Art of Medicine. (A. Lloyd-Jones, Transl.). Chicago: The University of Chicago Press.
  • Watson, J. C., Bedard, D. L. (2006). Clients’ emotional processing in psychotherapy: A comparison between cognitive-behavioral and process-experiential therapies. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74(1), 152-159.

PSIKOTERAPI

PENDAHULUAN

Psikoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang terandalkan dalam tatalaksana pasien psikiatri disamping psikofarmaka dan terapi fisik. Sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari, prinsip-prinsip dan beberapa kaidah yang ada dalam psikoterapi ternyata juga digunakan, antara lain dalam konseling, pendidikan dan pengajaran, atau pun  pemasaran.

Dalam praktek, psikoterapi dilakukan dengan percakapan dan observasi. Percakapan dengan seseorang dapat mengubah pandangan, keyakinan serta perilakunya secara mendalam, dan hal ini sering tidak kita sadari. Beberapa contohnya, antara lain seorang penakut, dapat berubah menjadi berani, atau, dua orang yang saling bermusuhan satu sama lain, kemudian dapat menjadi saling bermaafan, atau, seseorang yang sedih dapat menjadi gembira setelah menjalani percakapan dengan seseorang yang dipercayainya. Bila kita amati contoh-contoh itu, akan timbul pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah dilakukan terhadap mereka sehingga dapat terjadi perubahan tersebut?  Pada hakekatnya, yang dilakukan ialah pembujukan atau persuasi. Caranya dapat bermacam-macam, antara lain dengan memberi nasehat, memberi contoh, memberikan pengertian, melakukan otoritas untuk mengajarkan sesuatu, memacu imajinasi, melatih, dsb.  Pembujukan ini dapat efektif asal dilakukan pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat, oleh orang yang mempunyai cukup pengalaman.  Pada prinsipnya pembujukan ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai bidang, dan dapat dilakukan oleh banyak orang.

Dalam dunia kedokteran, komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan hal yang penting oleh karena percakapan atau pembicaraan merupakan hal yang selalu terjadi diantara mereka. Komunikasi berlangsung dari saat perjumpaan pertama, yaitu sewaktu diagnosis belum ditegakkan hingga saat akhir pemberian terapi. Apa pun hasil pengobatan, berhasil atau pun tidak, dokter akan mengkomunikasikannya dengan pasien atau keluarganya; hal itu pun dilakukan melalui pembicaraan. Dalam keseluruhan proses tatalaksana pasien, hubungan dokter-pasien merupakan hal yang penting dan sangat menentukan, dan untuk dapat membentuk dan membina hubungan dokter-pasien  tersebut, seorang dokter dapat mempelajarinya melalui prinsip-prinsip psikoterapi.

Sejak berabad yang lalu, para ahli telah menyadari bahwa psikoterapi berperan penting pada penyembuhan gangguan-gangguan pikiran dan perasaan, dan dokter berperan penting dalam hal itu (A healer is a person to whom a sufferer tells things; and out of his or her listening, the healer develops the basis for therapeutic interventions. The good listener is the best physician for those who are ill in thought and feeling).  Oleh karena itu dahulu psikoterapi sering disebut sebagai the talking cure. Psikoterapi diterima sebagai ilmu dan ketrampilan tersendiri, sebagai pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip the talking cure tersebut, oleh karena terdiri atas teknik-teknik dan metode khusus yang dapat diajarkan dan dipelajari.

Mengapa psikoterapi penting dipelajari? Psikoterapi merupakan alat yang dapat membantu dan penting dipelajari khususnya oleh dokter dan para profesional lain yang berperan dalam kesehatan dan kesehatan jiwa, namun perlu pula diingat bahwa teknik dan metodenya yang tertentu dan bermacam-macam tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat dipelajari dan dipraktekkan dengan baik. Tentunya, dengan hanya membaca buku ajar yang singkat ini tidaklah mungkin mencakup keseluruhan hal mengenai psikoterapi, namun setidaknya prinsip-prinsip dasar psikoterapi dapat dipahami, untuk dapat diaplikasikan dalam praktek sehari-hari, sehingga dapat turut menunjang upaya peningkatan mutu pelayanan kepada pasien.

Secara non spesifik, psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; sebagai suatu yang spesifik atau khusus, sebagaimana telah disebutkan di atas, psikoterapi merupakan rangkaian teknik yang digunakan untuk mengubah perilaku (catatan: teknik merupakan rangkaian tindakan yang dibakukan untuk mendapatkan perubahan tertentu, bukan urutan perubahan alamiah, sehingga harus dilatih untuk mencapai ketrampilan optimal). Dengan psikoterapi, seorang dokter akan dapat memanfaatkan teknik-teknik untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapainya. Bila seorang dokter tidak mengerti atau memahaminya, sebetulnya bukan hanya tidak akan menambah efektivitas terapinya, melainkan setidaknya dapat menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan pasiennya.

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN PSIKOTERAPI ?

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Antara lain yaitu bahwa psikoterapi adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerjasama secara profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. Definisi yang lain yaitu bahwa psikoterapi adalah cara-cara atau pendekatan yang menggunakan teknik-teknik psikologik untuk menghadapi ketidakserasian atau gangguan mental.

Psikoterapi disebut sebagai pengobatan, karena merupakan suatu bentuk intervensi, dengan berbagai macam cara dan metode – yang bersifat psikologik – untuk tujuan yang telah disebutkan di atas, sehingga psikoterapi merupakan salah satu bentuk terapi atau pengobatan disamping bentuk-bentuk lainnya dalam ilmu kedokteran jiwa khususnya, dan ilmu kedokteran pada umumnya.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, talking cures telah digunakan orang sejak berabad yang lalu. Misalnya, Soranus dari Ephesus, seorang dokter pada abad pertama Masehi, menggunakan percakapan atau pembicaraan untuk pasien-pasiennya dan mengubah ide-ide yang irasional dari pasien depresi. Kini, dalam terapi kognitif (salah satu jenis psikoterapi), terapis menelusuri cara berpikir yang irasional pada pasien-pasien depresi dan membimbing mereka agar kemudian dapat mengatasinya sendiri.

Bermula dari Sigmund Freud, pada akhir abad ke-sembilanbelas, yang memaparkan teori psikoanalisisnya, psikoterapi kian berkembang hingga kini. Teknik dan metode yang dicetuskan oleh Freud dapat dikatakan merupakan dasar dari psikoterapi, yang tampaknya, dalam praktek sehari-hari masih tetap digunakan sebagai dasar, apa pun teori yang dianut atau menjadi landasan atau pegangan bagi seseorang yang melakukan psikoterapi.

PRINSIP-PRINSIP UMUM  PSIKOTERAPI

Seperti telah disebutkan, psikoterapi dilakukan dengan cara percakapan atau wawancara (interview). Dalam suatu wawancara, tidak dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengandung kedua aspek tersebut, yaitu untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dengan pasien (sifat terapeutik), dan untuk melengkapi data dalam usaha menegakkan diagnosis. Dalam melakukan psikoterapi, wawancara harus lebih mengutamakan aspek terapeutiknya; data yang diperlukan akan berangsur terkumpul dengan kian membaiknya hubungan interpersonal yang terjalin antara dokter dengan pasiennya, sehingga berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan pasiennya tersebut.

Dalam melakukan wawancara, hendaknya kita juga melakukan observasi secara menyeluruh dengan teliti. Sambil mengajukan pertanyaan, kita juga mengamati dan turut serta (sebagai participant observer) dalam proses yang sedang berlangsung pada saat dan situasi tersebut (“the here and now”). Yang kita amati  yaitu : (1). apa yang terjadi pada pasien, (2). apa yang terjadi pada pewawancara atau terapis sendiri, serta (3). apa yang terjadi di antara terapis dan pasiennya. Dalam berhadapan dengan pasien, dokter atau terapis mempengaruhi pasien dengan sikap dan perkataannya, dari menit ke menit, saat ke saat. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan sebetulnya bukan hanya (a).apa yang kita bicarakan, tetapi juga (b). bagaimana cara kita melakukannya, (c). kapan (saat atau waktu yang tepat) kita mengungkapkan hal tertentu yang ingin kita sampaikan, serta (d).bagaimana hubungan antara si penolong (dokter atau terapis) dan yang ditolong (pasien) tersebut. Hal-hal tersebut dapat membuat pasien menjadi lebih tenang atau sebaliknya menjadi tegang, lebih terbuka atau tertutup, lebih percaya atau pun curiga, sehingga dapat disimpulkan bahwa selalu ada pengaruh terapeutik maupun kontraterapeutik, dan tidak pernah netral  sama sekali, karena setiap orang mempunyai latar belakang kepribadian dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, yang mempengaruhi cara pandang, cara berpikir dan menghayati segala sesuatu.

Hal yang sebaliknya juga perlu diingat, bahwa wawancara bukan hanya menghasilkan pengaruh dokter atau terapis atas pasien, namun juga pengaruh pasien terhadap dokternya. Sang dokter, sadar atau tidak, akan terpengaruh oleh  sikap  dan  perkataan pasien, yang akan tercermin dalam sikap, perasaan dan  perilakunya sendiri.  Dipacu oleh sikap dan perilaku pasien terhadapnya (ditambah lagi dengan kehidupan fantasinya sendiri),  dokter atau terapis  dapat  menjadi  tenang,  tegang,  santai, kuatir, terbuka, tertutup, bosan, sedih, kesal, malu, terangsang, dll.; perasaan-perasaan  tersebut  turut  menentukan  apa  yang dikatakannya  kepada pasien (atau tidak dikatakannya)  dan  bagaimana ia mengatakannya.  Untuk  dapat  mengatasi  hal  ini seorang dokter atau terapis perlu belajar untuk memantau perasaan-perasaan reaktifnya tersebut, agar ucapan-ucapan dan sikapnya terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sedikit mungkin  tercampur  dengan  unsur-unsur  yang  berasal dari respons emosional subyektifnya sendiri.

Agar tujuan terapeutik tercapai, hendaknya senantiasa diusahakan agar dokter dapat menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dan pasien.   Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, senantiasa harus dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan menanyakan hal tersebut. Bila konteksnya kurang tepat, misalnya, pasien justru dapat merasa tersinggung atau dipermalukan oleh pertanyaan kita (nyata atau tidak nyata), pasien mungkin akan menolak atau menyangkal, atau akan membuat-buat jawabannya.

PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN YANG PERLU DIMILIKI OLEH  SESEORANG  YANG  INGIN  MELAKUKAN PSIKOTERAPI

Kelengkapan ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seseorang yang ingin melakukan psikoterapi ialah:

  1. Mempunyai pengetahuan mengenai  dasar-dasar ilmu psikologi  dan  psikopatologi serta proses-proses mental. Hal ini dapat diperoleh dari mengikuti kuliah, kursus, maupun membaca sendiri.
  2. Dapat  menarik  suatu  konklusi  tentang keadaan mental pasien yang telah diperiksa. Hal ini didapat dari latihan intensif dan supervisi, untuk mempertajam fungsi pemeriksaan, terutama dalam hal mendengar dengan cermat (listening).(A healer is one who  listens in order to listen and to understand). Dengan mendengar dengan teliti dan cermat, dibekali oleh pengetahuan yang cukup, kita akan mendapat gambaran tepat tentang pasien-pasien yang diwawancarai. Fungsi mendengar ini amat penting;  dari fungsi ini sedapat-dapatnya kita memperoleh apa yang dimaksud oleh pasien, yang belum tentu sesuai dengan apa yang dikatakannya.  Misalnya:

<>      seorang pasien datang dengan keluhan nyeri di dadanya; hendaknya kita  memperhatikan bagaimana ia mengekspresikan keluhan tersebut dengan cermat.  Bila kita teliti, kita akan merasa dan mengetahui bahwa sebetulnya pada saat itu pasien sedang dalam keadaan sangat cemas. Untuk mengatasi hal itu, tugas  pertama kita adalah mengurangi kecemasannya terlebih dahulu. Barangkali dengan itu saja, sudah akan mengurangi intensitas keluhannya. Untuk melakukan maksud ini pun kita harus lihat dan rasakan dengan teliti; kadang, tujuan  kita akan menurunkan kecemasannya tetapi justru meningkatkannya. Jadi, kita harus mengetahui apa tujuan kita mengajukan pertanyaan tertentu kepada pasien.

<>      seorang pasien lain datang dengan keluhan sakit yang bermacam-macam yang menimpa beberapa bagian atau organ tubuhnya. Biasanya  kita  langsung berpikir: “Sakit apakah pasien ini?“ Padahal, mungkin yang ia maksud saat itu adalah:“ Saya sedang sangat cemas, dokter!“ Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak semua yang dikatakan oleh pasien itu tercermin dari perkataannya; bila kita senantiasa teliti,   kita akan merasa dan mengetahui apa yang diucapkan dan diperagakan pasien secara  keseluruhan, baik yang tersurat maupun yang tersirat, karena biasanya keluhan pasien merupakan suatu simbol atau representasi dari hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara verbal, yang biasanya terjadi karena hal itu tidak disadari (berada di alam nirsadar).

<>      seorang  pasien  lain  mengeluhkan  rasa nyeri yang dialami sejak beberapa waktu sebelumnya. Biasanya, kita lalu akan bertanya: “Nyerinya di sebelah mana, ya?“ Dalam hal ini, kita harus mengetahui betul mengapa kita mengajukan pertanyaan tersebut (apa maksud/tujuannya? apakah memang hanya ingin mengetahui lokasi nyerinya, atau ingin memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya?); sebaiknya, pertanyaan kita tersebut mengandung makna bagi pasien (pertanyaan yang logis, sensibel, dapat dimengerti maksud dan tujuannya oleh pasien). Usahakan  tidak mengungkapkan pertanyaan  dengan  kata-kata  yang sulit dimengerti,  karena  ini  dapat  mengakibatkan  pasien  merasa tidak mampu (karena  tidak mengerti pertanyaan kita),  atau  merasa  bahwa  ia  tidak  dipahami.  Kita juga sebaiknya  mengetahui  jawaban  apa  yang  kita  harapkan dari pertanyaan yang kita ajukan tersebut.

  1. Terampil dan berpengalaman dalam menerapkan teknik dan metode penanganan fungsi-fungsi mental pasien. Terdapat teknik-teknik yang biasanya digunakan, antara lain persuasi, desensitisasi, pemberian nasihat, pemberian contoh (modelling), empati, penghiburan, interpretasi, reward & punishment, dll. Pada dasarnya, terdapat manipulasi dasar yang dapat kita lakukan, yaitu :

>  Cara mengontrol ansietas

>  Cara mengatasi depresi

         >  Cara menghadapi psikosis

Mengenai lama pendidikan yang dijalani untuk menguasai teknik-teknik tersebut amat bervariasi, tergantung dari latar belakang pendidikan serta jenis psikoterapi yang ingin dimahiri (lihat pembagian jenis psikoterapi; untuk konseling misalnya, minimal diperlukan waktu dua minggu untuk dapat melakukannya sendiri, sedangkan untuk psikoterapi berorientasi dinamik, diperlukan pendidikan intensif sekitar lima-enam tahun untuk mendapatkan  ilmu  dan  ketrampilan yang memadai).

  1. Kepribadian:

merupakan variabel yang penting dalam psikoterapi (selain variabel pasien dan teknik yang digunakan) yang berpengaruh penting dalam menentukan arah dan hasil terapi. Seseorang yang ingin melakukan psikoterapi hendaknya  memiliki kepribadian  dengan kualitas khusus yang memungkinkan untuk membentuk dan memupuk hubungan yang tepat dan patut dengan pasien-pasiennya, dengan ciri-ciri :

–          Sensitif / sensibel

–          Obyektif dan jujur

–          Fleksibel

–          Dapat berempati

–          Relatif bebas dari problem emosional atau problem kepribadian, yang  serius.

Sebaliknya, ciri/unsur kepribadian yang merugikan keberhasilan terapi, antara lain :

–          Kecenderungan untuk mendominasi, sombong/angkuh, otoriter

–          Kecenderungan untuk pasif dan submisif

–          Sulit untuk terlibat dalam hubungan personal yang bermakna

–          Tidak mampu untuk mentoleransi ekspresi impuls tertentu

–          Mempunyai kebutuhan untuk menggunakan pasien bagi pemuasan impuls yang  terpendam

–          Mempunyai sifat destruktif

  1. Pengalaman :

pengalaman yang diperoleh dalam menangani pasien, kekayaan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, luasnya wawasan dalam pengetahuan, budaya, agama, hal-hal spiritual, merupakan  bekal yang penting. Problem pribadi yang dialami tidak dapat menjadi ukuran dalam menangani pasien. Yang menarik ialah bahwa tidak ada seorang pasien pun yang sama, setiap pasien adalah unik. Pengalaman yang dimiliki akan berguna dalam mengatur strategi dan teknik untuk mencapai tujuan terapi.

JENIS-JENIS PSIKOTERAPI

a. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, psikoterapi dibedakan atas:

1 Psikoterapi Suportif:

Tujuan:

– Mendukung funksi-funksi ego, atau memperkuat mekanisme defensi yang ada

– Memperluas mekanisme pengendalian yang dimiliki dengan yang baru dan lebih baik.

– Perbaikan ke suatu keadaan keseimbangan yang lebih adaptif.

Cara atau pendekatan: bimbingan, reassurance, katarsis emosional, hipnosis, desensitisasi, eksternalisasi minat, manipulasi lingkungan, terapi kelompok.

2  Psikoterapi Reedukatif:

Tujuan:

Mengubah pola perilaku dengan meniadakan kebiasaan (habits) tertentu dan membentuk kebiasaan yang lebih menguntungkan.

Cara atau pendekatan: Terapi perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, psikodrama, dll.

3. Psikoterapi Rekonstruktif:

Tujuan :

Dicapainya tilikan (insight) akan konflik-konflik nirsadar, dengan usaha untuk mencapai perubahan luas struktur kepribadian seseorang.

Cara atau pendekatan: Psikoanalisis klasik dan Neo-Freudian (Adler, Jung, Sullivan, Horney, Reich, Fromm, Kohut, dll.), psikoterapi berorientasi psikoanalitik atau dinamik.

b. Menurut “dalamnya”, psikoterapi terdiri atas:

1. ”superfisial”, yaitu yang menyentuh hanya kondisi atau proses pada “permukaan”, yang tidak menyentuh hal-hal yang nirsadar atau materi yangdirepresi.

2. “mendalam” (deep), yaitu yang menangani hal atau proses yang tersimpan dalam alam nirsadar atau materi yang direpresi.

c. Menurut teknik yang terutama digunakan, psikoterapi dibagi menurut teknik perubahan yang digunakan, antara lain psikoterapi ventilatif, sugestif, katarsis, ekspresif, operant conditioning, modeling, asosiasi bebas, interpretatif, dll.

d. Menurut konsep teoretis tentang motivasi dan perilaku, psikoterapi dapat dibedakan menjadi: psikoterapi perilaku atau behavioral (kelainan mental-emosional dianggap teratasi bila deviasi perilaku telah dikoreksi); psikoterapi kognitif (problem diatasi dengan mengkoreksi sambungan kognitif automatis yang “keliru”; dan psikoterapi evokatif, analitik, dinamik (membawa ingatan, keinginan, dorongan, ketakutan, dll. yang nirsadar ke dalam kesadaran). Psikoterapi kognitif dan perilaku banyak bersandar pada teori belajar, sedangkan psikoterapi dinamik berdasar pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-Freud.

e. Menurut setting-nya, psikoterapi terdiri atas psikoterapi individual dan kelompok (terdiri atas terapi marital/pasangan, terapi keluarga, terapi kelompok)

Terapi marital atau pasangan diindikasikan bila ada problem di antara pasangan, misalnya komunikasi, persepsi,dll. Terapi keluarga, dilakukan bila struktur dan fungsi dalam suatu keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, akan mempengaruhi keadaan dan interaksi dalam keluarga dan sebaliknya, keadaan keluarga akan mempengaruhi gangguan serta prognosis pasien. Untuk itu seluruh anggota keluarga diwajibkan hadir pada setiap sesi terapi. Terapi kelompok, dilakukan terhadap sekelompok pasien (misalnya enam atau delapan orang), oleh satu atau dua orang terapis. Metode dan caranya bervariasi; ada yang suportif dan bersifat edukasi, ada yang interpretatif dan analitik. Kelompok ini dapat terdiri atas pasien-pasien dengan gangguan yang berbeda, atau dengan problem yang sama, misalnya gangguan makan, penyalahgunaan zat, dll. Diharapkan mereka dapat saling memberikan dukungan dan harapan serta dapat belajar tentang cara baru mengatasi problem yang dihadapi.

f.  Menurut nama pembuat teori atau perintis metode psikoterapeutiknya, psikoterapi dibagi menjadi psikoanalisis Freudian, analisis Jungian, analisis transaksional Eric Berne, terapi rasional-emotif Albert Ellis, konseling non-direktif Rogers, terapi Gestalt dari Fritz Perls, logoterapi Viktor Frankl, dll.

g. Menurut teknik tambahan khusus yang digabung dengan psikoterapi, misalnya narkoterapi, hypnoterapi, terapi musik, psikodrama, terapi permainan dan peragaan (play therapy), psikoterapi religius, dan latihan meditasi.

h. Yang belum disebutkan dalam pembagian di atas namun akhir-akhir ini banyak dipakai antara lain: konseling, terapi interpersonal, intervensi krisis.

Konseling:

menurut para ahli sebetulnya tidak termasuk psikoterapi, oleh karena tidak memenuhi kriteria dan batasannya, antara lain teknik, tujuan dan orang yang melakukannya, walaupun hubungan yang terjadi di dalamnya juga merupakan “the helping relationships”.  Konseling bukan hanya hubungan profesional antara dokter-pasien, tetapi dapat dilakukan dalam berbagai bidang profesi, misalnya guru, pengacara, penasehat keuangan, dsb.

Konseling:

Merupakan proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu.

Fokus pada masalah klien atau pasien.

Percakapannya merupakan percakapan dua arah.

Bentuknya  terstruktur, yaitu terdiri atas: menyambut, membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.

Bertujuan membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya, melihat peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.

Memerlukan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal. Konseling dilakukan dalam suasana yang menjamin rasa aman dan nyaman

 

Tujuan:

– Membantu kemampuan klien atau pasien untuk mengambil keputusan yang      bijaksana dan realistik.

– Menuntun perilaku klien/pasien agar mampu mengemban konsekuensinya

– Memberikan informasi dan edukasi

Terdapat dua tipe konseling:

a. Pengarahan untuk mengatasi kesulitan pengambilan keputusan

b. Konseling untuk membantu  seseorang  dalam  suatu  pilihan  yang  vital

Terapi interpersonal:

Dilakukan  terhadap  pasien  yang  mengalami  konflik  saat  ini dengan pihak-pihak lain yang bermakna sehingga ia mengalami kesulitan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam karier atau peran sosial atau perubahan hidup lainnya. Banyak dilakukan terhadap depresi sedang dan berat.

Intervensi krisis:

Dilakukan terhadap pasien yang sedang mengalami suatu krisis dan memerlukan tindakan segera (catatan: krisis yaitu suatu respons terhadap keadaan bahaya atau penuh risiko dan dirasakan/dihayati sebagai keadaan yang menyakitkan, agar tercapai kembali keadaan seimbang (emotional equilibrium). Dalam terapi ini kita harus secepatnya membina hubungan interpersonal yang adekuat serta mengerti peran psikodinamik dan hubungannya terhadap krisis yang terjadi. Teknik yang dilakukan yaitu reassurance, sugesti, manipulasi lingkungan dan medikasi psikotropik. Kita ajarkan kepada pasien untuk menghindari situasi yang berbahaya untuk mencegah terjadinya kembali krisis di masa yang akan  datang.

PROSES  PSIKOTERAPI  PRAKTIS ( SECARA GARIS BESAR )

Dalam psikoterapi, begitu banyak variabel yang berperan sehingga kita dapat kehilangan arah dan terhalang oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses,  baik dari sisi pasien,  dokter  maupun sifat hubungan antara dokter-pasien.

Dari sisi pasien, faktor yang dapat mempengaruhi proses, antara lain adanya motivasi, fenomena transferensi, resistensi, mekanisme defensi, dsb. Transferensi adalah suatu distorsi persepsi pada pasien, yang secara nirsadar menganggap seorang terapis sebagai figur yang bermakna pada masa lalunya. Bila hal ini diketahui/disadari oleh terapis, justru dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan psikoterapi. Resistensi (berbeda dengan definisi menurut ilmu kedokteran umum – yang berarti daya tahan organisme terhadap penyakit) yaitu perlawanan pasien terhadap usaha-usaha untuk mengubah pola perilakunya, memberikan suatu tilikan, membuat unsur nirsadar menjadi sadar. Mekanisme defensi, yaitu mekanisme nirsadar untuk mengelakkan pengetahuan sadar tentang konflik dan ansietas yang berkaitan dengan hal itu.

Dari pihak dokter atau terapis, hal yang sama dapat pula dialami, yaitu kontra-transferensi (salah persepsi terapis terhadap pasiennya), resistensi, dsb., disertai teknik dan ketrampilan yang dimiliki oleh sang terapis, turut mempengaruhi proses terapi.

Secara garis besar, untuk psikoterapi yang terstruktur, terdapat kerangka umum yang terencana, sehingga seseorang dapat lebih terarah dan mantap dalam usaha untuk mencapai tujuan terapeutik yang bermakna. Kerangka kerja umum tersebut hendaknya cukup luwes dan luas (holistik), yang dapat mencakup berbagai orientasi dan disiplin. Adapun kerangka proses psikoterapi tersebut 2 :

1. Fase Awal:

Tujuannya membentuk hubungan kerja dengan pasien. Tugas Terapeutik : 1. Memotivasi pasien untuk menerima terapi, 2. Menjelaskan dan menjernihkan salah pengertian mengenai terapi (bila ada), 3. Meyakinkan pasien bahwa terapis mengerti penderitaannya dan bahwa terapis mampu membantunya, 4. Menetapkan secara tentatif mengenai tujuan terapi.

Resistensi pada pasien dapat tampil dalam bentuk: 1. Tidak ada motivasi terapi dan tidak dapat menerima fakta bahwa ia dapat dibantu, 2.Penolakan terhadap arti dan situasi terapi, 3. Tidak dapat dipengaruhi, terdapat hostilitas dan agresi, dependensi yang mendalam, dan 4. Berbagai resistensi lain yang menghambat terjalinnya hubungan yang sehat dan hangat.

Masalah kontratransferensi dalam diri terapis, antara lain: 1. Tidak mampu bersimpati, berkomunikasi dan saling mengerti secara timbal balik,2. Timbul iritabilitas terhadap penolakan pasien untuk terapi dan terhadap terapis, 3. Tidak mampu memberi kehangatan kepada pasien, dan 4. Tidak dapat menunjukkan penerimaan dan pengertian terhadap pasien dan masalahnya.

2. Fase Pertengahan:

Tujuannya: menentukan perkiraan sebab dan dinamik gangguan yang dialami pasien, menerjemahkan tilikan dan pengertian (bila telah ada), menentukan langkah korektif. Tugas terapeutik: 1.Mengeksplorasi berbagai frustrasi terhadap lingkungan dan hubungan interpersonal yang menimbulkan ansietas. Bila melakukan psikoterapi dinamik, gunakan asosiasi, analsisi karakter, analisis transferensi, interpretasi mimpi. Pada terapi perilaku, kita menilai faktor-faktor yang perlu diperkuat dan gejala-gejala yang perlu dihilangkan. 2. Membantu pasien dalam mengatasi ansietas yang berhubungan dengan problem kehidupan.

Resistensi pada pasien dapat tampil dalam bentuk: 1. Rasa bersalah terhadap pernyataan dan pengakuan adanya gangguan dan kesulitan dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan, 2. Tidak mau, atau tidak mampu (bila ego lemah), menghadapi dan mengatasi ansietas yang berhubungan dengan konflik, keinginan dan ketakutan

Masalah kontratransferensi dalam diri terapis dapat berupa: 1.Terapis mengelak dari problem pasien yang menimbulkan ansietas dalam diri terapis; 2. Ingin menyelidiki terlalu dalam dan cepat pada fase permulaan, 3. Merasa jengkel terhadap resistensi pasien.

3.  Fase akhir:

Tujuannya yaitu: terminasi terapi. Tugas terapeutiknya antara lain: 1. Menganalisis elemen-elemen dependensi hubungan terapis – pasien; 2. Mendefinisikan kembali situasi terapi untuk mendorong pasien membuat keputusan, menentukan nilai dan cita-cita sendiri. 3. Membantu pasien mencapai kemandirian dan ketegasan diri yang setinggi-tingginya.

Resistensi pada pasien dapat berupa: 1. Penolakan untuk melepaskan dependensi; 2. Ketakutan untuk mandiri dan asertif

Masalah kontratransferensi pada terapis: 1. Kecenderungan untuk mendominasi dan terlalu melindungi pasien; 2. Tidak mampu mengambil sikap/peran yang non direktif sebagai terapis.

EFEKTIVITAS PSIKOTERAPI

Dari pelbagai penelitian statistik yang telah dilakukan, ternyata di antara sekian banyak bentuk dan jenis psikoterapi yang ada, tidak satu pun terbukti lebih unggul daripada yang lain. Perbaikan terapeutik yang dicapai, ditentukan oleh faktor-faktor:

–  tujuan yang ingin dicapai

–  motivasi pasien

–  kepribadian dan ketrampilan terapis

–  teknik yang digunakan

KESIMPULAN

Telah diuraikan dasar-dasar psikoterapi secara singkat dan terbatas. Psikoterapi memang merupakan ilmu dan ketrampilan tersendiri yang bermanfaat untuk pasien-pasien  dengan problem kejiwaan khususnya dan problem kesehatan pada umumnya. Ilmu dan ketrampilan ini dapat diajarkan dan dipelajari namun memerlukan waktu yang tidak sedikit, ketekunan serta kepribadian terapis yang juga tidak kalah pentingnya.

Untuk dokter umum  yang bertugas sebagai ujung tombak dalam sistem pelayanan kesehatan di tanah air, psikoterapi penting untuk dipelajari, walaupun memerlukan waktu yang khusus dan cukup lama untuk mempelajari kembali karena terdiri atas teknik-teknik dan metode tertentu. Oleh karena itu, minimal konseling dan psikoterapi suportif hendaknya dapat dipahami dengan baik. Psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; bila serang dokter tidak memahaminya, bukan hanya tidak akan menambah efektivitas terapinya, melainkan setidaknya diharapkan dapat menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan pasiennya.

Dalam melakukan wawancara dalam praktek sehari-hari dengan pasien, beberapa hal yang perlu diingat antara lain bahwa wawancara mengandung makna terapeutik selain untuk pengambilan data dalam upaya penegakan diagnosis. Komunikasi antara dokter-pasien adalah penting. Dalam berhadapan dengan pasien, hendaknya kita senantiasa membina hubungan interpersonal dengan optimal, mengerti dan sadar apa yang kita bicarakan, bagaimana cara penyampaiannya, bilamana, serta dalam konteks apa kita menyampaikan pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan kita. Hendaknya kita perlu belajar memantau hal-hal tersebut agar ucapan-ucapan dan sikap kita terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sesedikit mungkin tercampur oleh unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subyektif kita.

Ketrampilan  yang  perlu  dilatih terus-menerus ialah dalam mendengarkan dengan cermat (empathic listening). Dengan mendengar dengan teliti, disertai observasi yang cermat, serta didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang psikologi, psikopatologi dan proses-proses kejiwaan, kita akan mendapat gambaran yang tepat dan menyeluruh tentang pasien.

Setelah melakukan wawancara dengan pasien, hendaknya kita dapat membuat konklusi tentang keadaan mental pasien {seberapa cemas, apakah ia dalam keadaan depresi, bingung (confuse), marah, atau bahkan tidak mengerti harus berbuat apa}; setelah itu tentunya kita harus mengetahui langkah apa yang harus kita perbuat untuk menolongnya.

Stay tuned, gain benefits! 😀

REFERENSI

  1. Kaplan H.I. & Sadock BJ Psychotherapies, in Comprehensive Textbook of Psychiatry, Chapter 31, Eight Edition, Vol.2, William & Wilkins, Baltimore, 2004,  1767-70.
  2. Gabbard G.O. Individual Psychotherapy, in Psychodynamic Psychiatry Clinical Practice – The DSM – IV Edition, American Psychiatric Press, 2000, 91-5.
  3. Lubis DB & Elvira SD. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi. Balai Penerbit FKUI, 2005: 10-12
  4. Elvira SD. Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit FKUI, 2005: 5,7, 9.
  5. Gabbard GO. Long-Term Dynamic Psychotherapy, American Psychiatric Press, 2004, 91-5.
  6. Jackson SW. The Listening Healer in the History of Psychological Healing. Am J of Psychiatry: Dec. 1992
  7. Green B. Psychotherapy, in Problem-based Psychiatry, Churchill Livingstone, Medical Division of Pearson Professional Ltd., 1996, 140-3.
  8. Wolberg L.R. What is Psychotherapy?  in  The Technique os Psychotherapy, Part One, Grune & Stratton, New York, San Fransisco, London,1977,  3-4, 15-6
  9. Lubis D.B. Wawancara  Psikiatrik, dalam Pengantar  Psikiatri  Klinik, Balai  Penerbit  FKUI,  1989, 58-9, 97, 106, 112.
  10. Janis I.L. Problems of Short-term Counseling, in Short-term Counseling, Yale University Press, New Haven and London, 1983, 8-10.
  11. Karasu T.B.  Psychotherapies:  An Overview,  American J. Psychiatry, 134 : 8, 1977,  857- 8.
  12. Weissman M.M. & Markowitz, J.C., Interpersonal Psychotherapy, Current status, Arch. Gen. Psychiatry, 51, 1994, 599 – 601.

Free Download The Hunger Games Trilogy

Hello fellas! Tonight I will post about these awesome novels made by Suzanne Collins.

The Hunger Games is a young adult novel written by American television writer and novelist Suzanne Collins. It was first published on September 14, 2008, by Scholastic, in hardcover.It is written in the voice of 16-year-old Katniss Everdeen, who lives in a post-apocalyptic world in the country of Panem where the countries of North America once existed. The Capitol, a highly advanced metropolis, holds hegemony over the rest of the nation. The Hunger Games are an annual event in which one boy and one girl aged 12 to 18 from each of the 12 districts surrounding the Capitol are selected by lottery to compete in a televised battle until only one person is left.

The book has been released as a paperback and also as an audiobook and e-book. The Hunger Games had an initial print of 200,000 – twice doubled from the original 50,000. Since its initial release, the novel has been translated into 26 languages and rights of production have been sold in 38 countries. The book received mostly positive feedback from major reviewers and authors. The Hunger Games is the first novel in The Hunger Games trilogy,followed by Catching Fire, published on September 1, 2009, and Mockingjay, published on August 24, 2010.

A film adaptation, co-written and co-produced by Collins herself and directed by Gary Ross, was released worldwide on March 23, 2012.

Collins says that the inspiration to write The Hunger Games came from channel surfing on television. On one channel she observed people competing on a reality show and on another she saw footage of the invasion of Iraq. The two “began to blur in this very unsettling way” and the idea for the book was formed. The Greek myth of Theseus served as the basis for the story, with Collins describing Katniss as a futuristic Theseus, and that Roman gladiatorial games formed the framework. The sense of loss that Collins developed through her father’s service in the Vietnam War also affected the story, whose heroine lost her father at age 11, five years before the story begins.Collins stated that the deaths of the young characters and other “dark passages” were the hardest parts of the book to write, but she had accepted passages such as these were necessary to the story.She considered the moments where Katniss reflects on happier moments in her past to be the more enjoyable.

The Hunger Games takes place in a nation known as Panem, after the destruction of North America by some unknown apocalyptic event. Panem consists of a wealthy Capitol and twelve surrounding, poorer districts under the Capitol’s hegemony. District 12, where the book begins, is located in the coal-rich region that was formerly Appalachia.

As punishment for a previous rebellion against the Capitol in which a 13th district was destroyed, one boy and one girl between the ages of 12 and 18 from each district are selected by annual lottery to participate in the Hunger Games. This is an event in which the participants (or “tributes”) must fight in an outdoor arena controlled by the Capitol, until only one individual remains. The story is narrated by 16-year-old Katniss Everdeen, a girl from District 12 who volunteers for the 74th annual Hunger Games in place of her younger sister, Primrose. Also selected from District 12 is Peeta Mellark, a baker’s son whom Katniss knows from school, and who once gave her bread when her family was starving.

Katniss and Peeta are taken to the Capitol where their drunken mentor, Haymitch Abernathy, victor of the 50th Hunger Games, instructs them to watch and learn the talents of the other tributes. They are then publicly displayed to the Capitol audience in a televised session with interviewer Caesar Flickerman. During this time, Peeta reveals on-air his longtime unrequited love for Katniss. Katniss believes this to be a ploy to gain audience support for him in the Games, which can be crucial for survival, as audience members are encouraged to send gifts such as food, medicine, and tools to favored tributes during the Games. While nearly half the tributes are killed in the first day of the Games alone, Katniss relies on her well-practiced hunting and outdoor skills to survive. A few days into the games, Katniss develops an alliance with Rue, a 12-year-old girl from the agricultural District 11 who reminds Katniss of her sister, Primrose. The alliance is short-lived; Rue is killed by another tribute. At Rue’s request Katniss sings to her, then spreads flowers over her body as a sign of respect—and of disgust towards the Capitol.

Supposedly due to Katniss and Peeta’s beloved image in the minds of the audience as “star-crossed lovers”, a rule change is announced midway through the Games, stating that two tributes from the same district can win the Hunger Games as a pair. Upon hearing this, Katniss searches for Peeta and eventually finds him wounded. As she nurses him back to health, she acts the part of a young girl falling in love to gain more favor with the audience and consequently gifts from her sponsors. When the couple remain as the last two surviving tributes, the Gamemakers reverse the rule change in an attempt to force them into a dramatic finale, where one must kill the other to win. Katniss, knowing that the Gamemakers would rather have two victors than none, retrieves highly poisonous berries known as “nightlock” from her pouch and offers some to Peeta. Thinking that Katniss and Peeta intend to commit suicide, the Gamemakers announce that both will be the victors of the 74th Hunger Games.

Although she survives the ordeal in the arena and is treated to a hero’s welcome in the Capitol, Katniss is warned by Haymitch that she has now become a political target after defying her society’s authoritarian leaders so publicly. Afterwards, Peeta is heartbroken when he learns that Katniss’s actions in the arena were part of a calculated ploy to earn sympathy from the audience. However, Katniss is unsure of her own feelings and realizes that she is dreading the moment when she and Peeta will go their separate ways.

To make it short, click an image to download the particular ebook.

Stay tuned, gain benefits! 😀

Reference:

http://en.wikipedia.org/wiki/The_Hunger_Games

Cara Bangun Tidur Sengan Senang

Salah satu cara tubuh dan pikiran beristirahat adalah dengan tidur, tentunya dengan harapan bahwa setelah bangun tidur tubuh dan pikiran akan menjadi lebih segar. Akan tetapi, tidak selamanya perasaan segar yang kita dapati setelah bangun tidur, terkadang kita justru merasa bahwa tidak ada perubahan yang cukup berarti baik pada badan maupun pada pikiran kita.

Berikut ini adalah beberapa cara untuk bisa bangun pagi dengan perasaan senang setiap harinya.

1. Segera setelah kamu terbangun tersenyumlah. Ini adalah hari yang baru dengan banyak kemungkinan-kemungkinan baru. Hari ini kamu akan melakukan hal-hal baru dan bertemu orang baru. Namun, untuk menerima semua ini kamu harus terbuka untuk itu. Believe that good things will today.

2. Percayalah bahwa kamu berhak mendapatkan hal-hal yang baik. Open your mind to the possibility of great blessings. Kamu dimaksudkan untuk menjadi bahagia. Alam semesta ingin kamu menjadi bahagia dan berbagi kebahagiaan dengan semua orang.

3. Setiap kali kamu bertemu dengan seseorang, perlakukan mereka dengan kasih sayang dan kebaikan jika kamu ingin seseorang melakukan hal itu kepada dirimu. Gunakan orang-orang sebagai cerminan dari dirimu sendiri. Perlakukan mereka sebagaimana kamu ingin diperlakukan.

4. Lakukan apa yang kamu rasa benar. Don’t worry about being shy or showing your emotions. Biarkan orang tahu bagaimana perasaanmu. Be true to yourself and your feelings. Jujur terhadap diri sendiri dan perasaan Anda. Ingat – Dua puluh tahun dari sekarang kamu akan lebih kecewa oleh hal-hal yang tidak kamu lakukan daripada yang telah kamu lakukan.

5. Live for the moment. Setiap bagian dari harimu adalah tempat baru yang belum pernah ada dirimu sebelumnya. So cherish every moment. Nikmati membaca koran pagi dan saat teduh dengan kekasihmu. Tindakan kebaikan sekecil apapun itu pasti akan mengubah dunia. Berusaha bersikap baik dengan rekan kerjamu kecuali kalau kamu yang terbaik dari yang terbaik.

6. Setiap hari sebelum tidur malam, ingat apa yang harus kamu syukuri. Pikirkan semua hal-hal besar yang terjadi pada dirimu dan orang-orang di sekitarmu.

Stay tuned, gain benefits! 😀

sumber : http://about-girlsz.blogspot.com

A Beautiful Mind

Halo halo lagi sobat!!
Hmmm,, kali ini apa lagi yaa? Kali ini kita bakal melihat sebuah film yang berjudul A Beautiful Mind dari sudut pandang psikologi. 😀

A Beautiful Mind

20120507-050838.jpg

Film A Beautiful Mind menggambarkan kisah perjuangan seorang ahli matematika genius yang bernama John Forbes Nash, yang berhasil menciptakan konsep ekonomi yang kini dijadikan sebagai dasar dari teori ekonomi kontemporer. Selama Perang Dingin berlangsung, Nash mengidap schizophrenia yang membuatnya hidup dalam halusinasi dan selalu dibayangi ketakutan hingga ia harus berjuang keras untuk sembuh dan meraih hadiah Nobel tahun 1994, kala ia memasuki usia senja.

Kisah dibuka dengan Nash muda di tahun 1948 yang memulai hari-hari pertama kuliahnya di universitas bergengsi, Princeton University. Sejak awal, Nash -lelaki sederhana dari dusun Virginia digambarkan sebagai pribadi penyendiri, pemalu, rendah diri, introvert sekaligus aneh. Aku tak terlalu suka berhubungan dengan orang dan rasanya tak ada orang yang menyukaiku, ujar Nash berkali-kali. Di balik segala kekurangannya, Nash juga digambarkan sebagai laki-laki arogan yang bangga akan kepandaiannya. Ini ditunjukkannnya dengan cara menolak mengikuti kuliah yang dianggapnya hanya menghabiskan waktu dan membuat otak tumpul. Sebagai gantinya, Nash lebih banyak meluangkan waktu di luar kelas demi mendapatkan ide orisinal untuk meraih gelar doktornya dan diterima di pusat penelitian bergengsi, Wheeler Defense Lab di MIT.

Di tengah persaingan ketat, Nash mendapat teman sekamar yang sangat memakluminya, Charles Herman yang memiliki keponakan seorang gadis cilik Marcee. Nash yang amat terobsesi dengan matematika-sampai-sampai menulis berbagai rumus di kaca jendela kamar dan perpustakaan akhirnya secara tak sengaja berhasil menemukan konsep baru yang bertentangan dengan teori bapak ekonomi modern dunia, Adam Smith. Konsep inilah yang dinamakannya dengan teori keseimbangan, yang mengantarkannya meraih gelar doktor. Mimpi Nash menjadi kenyataan. Tak hanya meraih gelar doktor, ia berhasil diterima sebagai peneliti dan pengajar di MIT.

Hidup Nash mulai berubah ketika ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri.

Alicia Larde, seorang mahasiswinya yang cantik, yang membuatnya sadar bahwa ia juga membutuhkan cinta. Ketika pasangan ini menikah, Nash justru semakin parah dan merasa terus berada dalam ancaman bahaya gara-gara pekerjaannya sebagai agen rahasia. Nash semakin hari semakin terlihat aneh dan ketakutan, sampai akhirnya ketika ia sedang membawakan makalahnya di sebuah seminar di Harvard, Dr Rosen seorang ahli jiwa menangkap dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari situlah terungkap, Nash mengidap paranoid schizophrenia. Beberapa kejadian yang dialami Nash selama ini hanya khayalan belaka. Tak pernah ada teman sekamar, Herman dan keponakannya yang menggemaskan, Marcee ataupun Parcher dengan proyek rahasianya.

Untungnya, Alicia adalah seorang istri setia yang tak pernah lelah memberi semangat pada suaminya. Dengan dorongan semangat serta cinta kasih yang tak pernah habis dari Alicia, Nash bangkit dan berjuang melawan penyakitnya.

20120507-050851.jpg

Analisis :
Davison dan Neale (2001) menyatakan bahwa secara umum karakteristik simtom skizofrenia dapat digolongkan dalam 3 kelompok : simtom positif, simtom negatif, dan simtom lainnya. Simtom positif adalah tanda-tanda yang berlebihan, yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun pada pasien skizofrenia justru muncul. Yang termasuk dalam simtom positif adalah delusi (waham) dan halusinasi. Simtom negatif adalah simtom yang deficit, yaitu perilaku yang seharusnya dimiliki oleh orang normal, namun tidak dimunculkan oleh pasien. Termauk dalam simtom ini adalah avolition/apathy (hilangnya energy dan minat), alogia (kemisikinan isi pembicaraan), anhedonia (ketidakmampuan untuk memperoleh kesenangan), asosialitas, afek datar, dan afek yang tidak sesuai.

Ada lima tipe skizofrenia yaitu Skizofrenia Hebrenik (respon emosional tidak sesuai dan disertai dengan tingkah laku yang aneh), Skizofrenia Paranoid (adanya waham persekusi/kejar), Skizofrenia Katatonik (gangguan pada fungsi motorik dan adanya stupor), Skizofrenia Residual (pernah mengalami skizofrenia sebelumnya), dan Skizofrenia Tipe Tak Tergolongkan.

Dari film A Beatiful Mind dapat diketahui bahwa John Nash menderita skizofrenia paranoid, yang ditandai dengan simptom – simptom atau indikasi sebagai berikut:
1. Adanya delusi atau waham, yakni keyakinan palsu yang dipertahankan.
– Waham Kejar (delusion of persecution), yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya, dalam film tersebut yaitu agen pemerintah dan mata – mata rusia. Waham ini menjadikannya paranoid, yang selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, serta diawasi.
– Waham Kebesaran (delusion of grandeur), yaitu keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting. John Nash menganggap dirinya adalah pemecah kode rahasia terbaik dan mata – mata atau agen rahasia.
– Waham Pengaruh (delusion of influence), adalah keyakinan bahwa kekuatan dari luar sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya. Adegan yang menunjukkan waham ini yaitu ketika disuruh membunuh istrinya, ketika disuruh menunjukkan bahwa dia jenius, dan ketika diyakinkan bahwa dia tidak berarti oleh para teman halusinasinya.

20120507-050859.jpg

2. Adanya halusinasi
Persepsi palsu atau menganggap suatu hal ada dan nyata padahal kenyataannya hal tersebut hanyalah khayalan. John Nash mengalami halusinasi bertemu dengan tiga orang yang secara nyata tidak ada yaitu Charles Herman (teman sekamarnya), William Parcher (agen pemerintah) dan Marcee (keponakan Charles Herman). Selain itu juga laboratorium rahasia, dan juga nomer kode yang dipasang pada tangannya.
3. Gejala motorik dapat dilihat dari ekpresi wajah yang aneh dan khas diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yg aneh. Indikasi ini sangat jelas ketika John Nash berkenalan dengan teman – temannya dan juga jika dilihat dari cara berjalannya.
4. Adanya gangguan emosi, adegan yang paling jelas yaitu ketika John Nash menggendong anaknya dengan tanpa emosi sedikitpun.
5. Social withdrawl (penarikan sosial), John Nash tidak bisa berinteraksi sosial seperti orang – orang pada umumnya, dia tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya sehingga dia hanya memiliki sedikit teman.

Stressor atau kejadian – kejadian yang menekan yang membuat skizofrenia John Nash bertambah parah, yaitu :
– Kalah bermain dari temannya
– Merasa gagal berprestasi untuk mendapatkan cita – citanya
– Merasa tidak dapat melayani istrinya
– Tidak bisa bekerja atau mendapatkan pekerjaan kembali

Karakter Pribadi John Nash, yaitu:
– Pemalu, introvert, penyendiri, rendah diri (merasa dirinya tidak disukai orang lain), kaku, tidak suka bergaul (tidak menyukai orang lain), penarikan diri dari lingkungan sosial.
– Dalam kenyataannya (cerita sebenarnya bukan di film ini) John Nash adalah pribadi yang pemarah, suka bermain wanita, keras, dan kaku.

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, John Nash menjalani perawatan di rumah dengan Obat Psikoterapetik. Obat ini harus terus diminum secara teratur oleh penderita skizofrenia. Meskipun obat ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia, namun obat – obat antipsikotik akan membantu penderita untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi, serta memulihkan proses berpikir rasional. Cara kerja obat – obat antipsikotik yaitu menghambat reseptor dopamin dalam otak. Efek dari pemakaian obat tersebut yaitu : Sulit berkosentrasi, menghambat proses berpikir, tidak memiliki gairah seksual.

Selain terapi biologis, John Nash juga mendapat terapi dari istrinya yaitu berupa dukungan sosial yang diberikan kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial (dengan tukang sampah), dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi Sosial ini sangat membantu penderita skizofrenia dalam menghadapi peristiwa – peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita.

Stay tuned, gain benefits! 😀

Referensi :
Fausiah, Fitri & Widuri, Julianty. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta : UI-Press.
Maslim, Rusdi. 1995. ed. Buku Saku PPDGJ III, Jakarta.

Anders Behring Breivik

Hai sobat! Kita bertemu lagi.. 😀
Kali ini gw mau mencoba mengangkat sebuah kasus yang menarik, yang juga lagi hangat dibicarakan. Tentu saja kita akan mencoba melihatnya dari sudut pandang psikologi 😀

20120507-045412.jpg

Anders Behring Breivik tumbuh dan tinggal bersama ibunya di Skoyen, Oslo. Breivik lahir di Oslo pada tanggal 13 Februari 1979. Dia merupakan anak dari Wenche Behring, seorang perawat, dan Jens David Breivik, seorang ekonom sipil yang bekerja sebagai diplomat untuk kedutaan Norwegia di London dan Paris setelahnya. Dia menghabiskan satu tahun pertama dalam hidupnya di London sampai orangtuanya bercerai ketika dia berusia satu tahun. Kemudian, ayahnya menikah dengan seorang diplomat. Ibunya juga menikah lagi dengan seorang pegawai tentara Norwegia.

Pada saat Breivik berusia empat tahun, dua laporan mengenai kesehatan mentalnya mengatakan bahwa dia mungkin tidak mendapat perhatian dan perlindungan dari orang tua. Pada saat di bangku sekolah, teman sekelasnya mengatakan bahwa Breivik dikenal sebagai orang yang pandai, memiliki fisik yang lebih kuat daripada orang lain yang berusia sama, dia melindungi orang-orang yang dibully.

Anders Behring Breivik, terdakwa kasus pemboman dan penembakan masal di Norwegia tahun lalu akan membebeberkan bukti-bukti terakhir miliknya terkait tindakan brutalnya itu. Sebelumnya dia sudah mengaku sebagai pelaku pemboman di Oslo dan penembakan yang menewaskan 77 orang.

Tujuan sidang yang dijalaninya adalah untuk membuktikan apakah Breivik mengalami gangguan jiwa atau tidak. Dalam sidang sebelumnya, Jumat (20/4), Breivik mengatakan dia datang ke Pulau Utoeya yang saat itu dipenuhi pemuda yang tengah mengikuti perkemahan pemuda Partai Buruh. Sebelum menembak korban pertamanya, Breivik menuturkan dia mendengar ‘100 suara’ di kepalanya agar mengurungkan niatnya itu. Namun, setelah sempat ragu, dia akhirnya menembak dua korban pertamanya di kepala dan terus berjalan.

Breivik menjelaskan dia mengisi ulang senjatanya saat kehabisan peluru. “Semua memohon agar tidak dibunuh. Saya tembak mereka semua di kepala,” kata Breivik. Beberapa orang, lanjut Breivik, berpura-pura mati namun dia mengetahuinya dan tetap menembak mereka. Breivik melanjutkan aksinya di sekeliling pulau. Dia membujuk para pemuda itu keluar dari persembunyiannya dengan mengatakan bahwa dia adalah polisi yang datang untuk melindungi mereka.

Wartawan BBC Steven Rosenberg yang hadir di dalam sidang mengatakan keheningan di ruang sidang berubah menjadi tangis ketika Breivik mengungkapkan kisahnya itu. Pria yang dituduh membunuh 77 orang di Norwegia, Juli tahun lalu, membual tentang serangan yang dilakukannya dalam lanjutan sidang di Oslo, Selasa 17 April. “Saya telah melaksanakan serangan yang paling spektakuler dan canggih di Eropa sejak Perdang Dunia II,” kata Anders Breivik di ruang pengadilan.

Dia mengaku melakukan serangan bom di Oslo dan menembaki para peserta perkemahan pemuda di Pulau Utoeya, namun menyatakan tidak bersalah atas dakwaan teror dan pembunuhan massal. “Tindakan itu didasarkan pada kebaikan, bukan setan,” tuturnya dan menambahkan dia akan melakukannya serangan yang sama.

Breivik juga mengatakan tindakannya itu diinspirasi dari al-Qaeda dan dia menyangka dia masih hidup pada hari serangan tersebut. Ketika mengakhiri pernyataannya -karena dipaksa oleh hakim- dia mengatakan bertindak untuk membela Norwegia dalam melawan imigrasi dan multikulturalisme. Hakim berulang kali menyela untuk meminta Breivik mempersingkat pernyataannya namun beberapa kali pula dia berkeras menegaskan masih ada yang ingin dia sampaikan.

20120507-045834.jpg

Diamati psikiater
Sebelumnya, tim penasehat hukumnya mengingatkan kalau banyak warga Norwegia yang akan marah dengan pernyataan Breivik. Salah seorang di antaranya, Geir Lippestead, mengatakan bisa memahami keprihatinan keluarga korban bahwa Breivik menggunakan pengadilan sebagai mimbar untuk menyampaikan pernyataan, namun menegaskan bahwa Breivik mempunyai hak untuk menjelaskan tindakannya.

Pembelaan dan kesaksian Breivik, yang diperkirakan berlangsung selama lima hari, tidak akan disiarkan kepada khalayak umum. Wartawan BBC, Matthew Price, yang meliput sidang mengatakan bukti-bukti yang disampaikan Breivik amat penting jika dia dinyatakan waras. Sidang ini dihadiri oleh para psikiater untuk mengamati kondisi kejiwaan Breivik.

Salah satu pertanyaan yang masih membayang-banyangi pengadilan yang akan berakhir sepuluh pekan mendatang adalah kondisi jiwa Breivik, yang pernah mengatakan tidak mengenal ruang pengadilan. Selama persidangan, Breivik tampak tidak memperlihatkan emosi namun meneteskan air mata ketika pengadilan memutar video anti-Islam sepanjang 12 menit yang diterbitkannya di internet pada hari penyerangan. “Saya telah melaksanakan serangan yang paling spektakuler dan canggih di Eropa sejak Perdang Dunia II.”

Pengacaranya mengatakan dia tampaknya menangis karena merasa serangannya kejam namun dibutuhkan untuk ‘menyelamatkan Eropa dari perang yang sedang berlangsung.’

Ruang sidang khusus
Sidang sempat terhenti dan salah seorang dari tiga juri yang merupakan warga biasa -yang di Norwegia ikut mendampingi hakim profesional untuk mengamil keputusan- dihentikan karena pernah mengatakan Breivik sebaiknya dijatuhi hukuman mati. Thomas Indreboe diganti oleh seorang hakim warga biasa yang Senin kemarin menghadiri sidang.

Breivik meledakkan sebuah bom yang ditaruh di mobil barang di luar kantor pemerintah di Oslo pada tanggal 22 Juli dengan korban jiwa delapan orang. Dia kemudian pergi ke Pulau Utoeya dengan mengenakan seragam polisi dan melepas tembakan secara serampangan ke arah peserta perkemahan pemuda yang dilakukan Partai Buruh yang memerintah di Norwegia.

Dalam serangan di pulau itu, 69 orang tewas dan sebanyak 34 orang adalah anak muda berusia antara 14 hingga 17 tahun. Puluhan lainnya menderita luka-luka. Dia menghadapi ancaman hukuman 21 tahun penjara yang bisa diperpanjang sehingga berada di dalam penjara sepanjang hidupnya. Ruang sidang untuk Breivik ini disengaja dibangun khusus dengan kapasitas 200 pengunjung. Sebuah dinding kaca ditempatkan untuk memisahkan para korban dan keluarga korban dari Breivik.

Sebuah tugu peringatan mengenang para korban dibangun di Pulau Utoeya, Norwegia.
Breivik mengakui telah membunuh 77 orang namun menolak jika dia dianggap melakukan kejahatan. Dia mengatakan tengah melindungi Norwegia dari ancaman multikulturalisme.

Dia mengatakan telah melakukan sebuah aksi penting saat melakukan pengeboman kantor pemerintah di Oslo. “Namun penembakan Utoeya menjadi yang terpenting saat kantor pemerintah tidak ambruk seperti yang direncanakan,” ujarnya. Hukuman Breivik tergantung keputusan pengadilan soal kewarasannya. Jika waras maka Breivik akan menghadapi hukuman penjara, namun jika dianggap gila maka dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa.

Breivik sendiri mengaku dirinya tidak gila namun dia adalah pelaku politik ekstrim. Dalam pernyataan lain di depan pengadilan, Breivik mengaku dia adalah manusia normal dalam situasi normal dan sangat peduli dengan orang di sekitarnya. Dia juga memahami bahwa kesaksian yang dipaparkan di pengadilan membuat orang lain ketakutan. Tetapi, lanjut Breivik, dia telah menjalani program ‘dehumanisasi’ pada 2006 untuk mempersiapkan dirinya melakukan pembunuhan.

Pria berusia 33 tahun itu menambahkan memunculkan empati sangat tidak mungkin, karena dia akan ambruk secara mental jika mencoba memahami apa yang telah dia lakukan. Saat ditanya apakah dia pernah merasakan kesedihan, Breivik mengatakan dirinya pernah berada dalam sebuah situasi menyedihkan. “Saat pemakaman saudara teman saya. Itulah saat yang paling menyedihkan,” ujar Breivik.

Wartawan Al Jazeera, Paul Brennan, melaporkan dari Oslo bahwa Breivik berterus terang di depan pengadilan tentang bagaimana dia mulai menyukai permainan perang selama lebih dari 16 jam sehari setelah pindah bersama ibunya pada 2006. Breivik menggunakan video game “Modern Warfare 2” sebagai latihan untuk mengetahui medan. Dia juga sering bermain game online “World of Warcraft” hingga 16 jam sehari.

“Dia sengaja pergi ke Pulau Utoeya karena mengetahui bekas Perdana Menteri Norwegia (Brudtland) akan berada di sana,” kata Brennan. “Pelaku juga akan memborgol korban dan memancungnya. Seluruh kejadian itu akan direkam dan diunggah ke Internet.”

Analisis :
Setelah mengulas sedikit mengenai biografi dan pemberitaan mengenai kasus Breivik. Pada kali ini saya akan mencoba menganalisis apakah Breivik termasuk individu yang tergolong atau abnormal.

Kriteria Gangguan Abnormalitas menurut DSM-IV :
Disfungsi Psikologis
Individu yang abnormal tidak dapat menjalankan peran/fungsi dalam kehidupan yaitu tidak dapat mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan konatif.
Kognitif : Breivik menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan serangan yang paling spektakuler dan canggih di Eropa sejak Perdang Dunia II dengan membunuh 77 orang di Norwegia dengan alasan dia bertindak untuk membela Norwegia dalam melawan imigrasi dan multikulturalisme. Breivik memiliki kecurigaan yang cukup tinggi terhadap pemerintahan di Norwegia yang dianggapnya mulai diambil alih oleh pasukan multicultural.
Afektif : Breivik memiliki afek tumpul dan empati yang kurang. Breivik tampak tidak memperlihatkan emosi namun meneteskan air mata ketika pengadilan memutar video anti-Islam sepanjang 12 menit yang diterbitkannya di internet pada hari penyerangan.
Konatif : Perilaku agresif Breivik dimunculkan dengan melakukan pemboman di Oslo dan penembakan yang menewaskan 77 orang untuk melindungi Norwegia dari ancaman multikulturalisme. Dalam serangan di pulau itu, 69 orang tewas dan sebanyak 34 orang adalah anak muda berusia antara 14 hingga 17 tahun. Puluhan lainnya menderita luka-luka.

Distres : Impairment
Individu yang abnormal menunjukkan pada keadaan “merusak” dirinya baik secara fisik maupun psikologis.
Fisik : Breivik tidak memperlihatkan gejala bahwa dirinya melukai dirinya sendiri secara fisik. Akan tetapi, dia melukai bahkan membunuh orang lain dengan melakukan pengeboman dan menembakinya secara agresif.
Psikologis : Breivik memiliki empati yang kurang dan mengaku bahwa memunculkan empati dalam dirinya sangatlah tidak mungkin karena itu akan membuat dirinya ambruk.

Respon Atipikal
Reaksi yang tidak sesuai dengan keadaan sosio kultural yang berlaku.
Perilaku kejahatan yang dilakukan Breivik tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungannya. Pada umumnya, orang akan menjaga hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya seperti berkomunikasi dan berhubungan baik kepada orang-orang yang masih satu daerah dengan tempat tinggalnya. Namun, Breivik tidak seperti itu.
Breivik berterus terang di depan pengadilan tentang bagaimana dia mulai menyukai permainan perang selama lebih dari 16 jam sehari setelah pindah bersama ibunya pada 2006. Breivik mengakui telah membunuh 77 orang, tetapi menolak jika dia dianggap melakukan kejahatan. Dia mengatakan tengah melindungi Norwegia dari ancaman multikulturalisme. Dia lantang berseru bahwa dirinya tidak bersalah dan menolak mengakui pengadilan terhadap dirinya.

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Breivik adalah abnormal. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan kejiwaan oleh para ahli psikiatri yang menyatakan bahwa Breivik mengalami skizofrenia paranoid karena adanya delusi dan perilaku yang agresif serta kecurigaan yang tinggi. Namun, pada perkembangan yang terbaru Breivik dinyatakan tidak mengalami skizofrenia paranoid tetapi dia memiliki gangguan kepribadian yaitu kepribadian narsistik. Sampai pada saat ini, kasus ini masih dalam tahap pengembangan dan pemeriksaan lebih lanjut.

Stay tuned, gain benefits! 😀

Referensi :
Fausiah, Fitri & Widuri, Julianty. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta : UI-Press.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120423_breiviktrial.shtml
http://m.tempo.co/2012/04/20/398416/
http://en.wikipedia.org/wiki/Anders_Behring_Breivik
http://metrotvnews.com/read/news/2012/04/20/88626/Anders-Behring-Breivik-Belajar-dari-Al-Qaeda/7